Memandang “ Curhat “ dari Aspek Psikoanalisis

by : Osel Resha


  Ketika Laki – laki Curhat pada laki – laki goalsnya jelas mereka mencari solusi, tapi lain cerita jika perempuan curhat pada laki – laki goalsnya adalah hanya ingin didengar saja itu pun berdasarkan konteks soal apa dulu, bisa soal selfpity ( mengasihani diri sendiri ) atau soal emosi yang nilai – nilainya berisi kemarahan, egosentris ( harga diri dan citra ) nah point ini jelas minta dukungan selain didengarkan.

  Kemudian ketika perempuan curhat pada perempuan goalsnya amat sangat jelas dan brutal yaitu murni dukungan moril.
  Yang jadi masalah kebanyakan orang khususnya perempuan berfikir dan menyerap informasinya secara dangkal, bahkan mungkin benar – benar bertindak berdasarkan emosinya atau perasaannya bukan dengan logikanya .

  Cara berfikir mereka yang linear hanya memandang pada titik satu - satunya peristiwa yang memang pada saat itu terjadi, bukan berfikir untuk mendeduksi juga menganalisa persitiwa di belakangnya kenapa itu terjadi .
kenapa itu bisa terjadi ? karena jelas, mereka idiot !

  Apa point penting dari curhat ? enggak ada, kecuali hanya untuk membuang sampah – sampah yang membebani kita secara psikis saja alih – alih membuat diri kita menjadi sedikit agak tenang dan merasa lebih baik, juga dalam kendali yang wajar padahal kondisi itu cuman sebentar .

  Apa dengan begitu realitas yang kalian hadapi berubah menjadi sesuai seperti apa yang kalian inginkan ? kan enggak juga, keadaan tetap seperti itu, seolah nasi telah menjadi bubur sumsum yang dijual di pinggiran SDN Ujungberung saja, dengan kata lain “ geus buyatak mang “.

  Tapi bukankah curhat itu penting untuk mendalami pribadi  berdasarkan pengalaman – pengalamannya yang terjadi untuk satu sama lain ?
  Memang benar dan itu inheren bahkan secara apriori relevan dikaitkan jika dalam konteks sedang interview melamar kerjaan, tapi dalam konteks obrolan pribadi lain lagi ceritanya, kenapa ? karena biasanya yang curhat dan yang dicurhati ada maksud terselubung sendiri dengan isi materi curhatannya itu sendiri .

  Yang dicurhati kadang merasa istimewa karena kesuperioritasan egonya sendiri menganggap bahwa dirinya secara patologis mampu menjadi “ The Problem Solver “ ini penyakit, jelas obviously illness dari always feels right complex disorder .

  Dan yang curhat karena ngerasa didukung dapat respon yang sesuai dengan apa yang dia mau menjadi begitu berapi – api untuk semakin menyalahkan orang lain, parahnya yang dicurhati mendukung itu, yah ini seperti mengguyurkan bensin pada tungku api yang membara, walhasil “ Kahuruanlah “.

  Tapi setelah mereka puas dengan mengumpat – ngumpat orang lain, mereka akan mandeg pada satu titik kesimpulan yang khas orang – orang lemah tak berdaya, mereka mulai bertanya, “ Kenapa mereka itu kaya gini ?” dan  “ kenapa mereka ini kaya gitu ?” kemudian sibuk dengan rasionalisasi merasa diri lebih baik dari mereka dan bersumpah pada diri sendiri tidak akan melakukan hal yang mereka lakukan pada dri kita sendiri .

  Justru yang jadi pertanyaan kenapa mereka tak berorientasi pada penyebab kenapa mereka berbuat begitu pada kita ? mengarahkan semua kejadian pada diri kita sendiri ?
Kenapa tidak mencoba melakukan kontemplasi, introspeksi dan mentafakuri diri kenapa kejadian ini terjadi, padahal sebenarnya sebelum kejadian buruk menimpa dirinya sendiri, mereka sudah lebih dulu tahu bahwa kejadian seperti ini pasti bakalan terjadi .

  Itu karena mereka tidak mau mengakui kebodohan dan kepengecutannya sendiri untuk berkata tidak pada orang lain, alasannya jelas menyangkut citra diri .
mereka tidak mau dinilai jelek oleh orang lain, dan tidak mau merasa bersalah karena menolak orang lain meskipun dia tahu bahwa apa yang telah dia setujui lambat laun akan merusak dirinya sendiri hingga membusuk dalam segala macam rasionalisasi menyalahkan orang lain .

  Jujur pada diri sendiri, memang sulit dari pada menceramahi orang dengan materi kejujuran itu sendiri, karena dalam psikologi ketika seseorang menceramahi kalian soal sesuatu yang berbau hal itu, jelas mengindikasikan dua hal :

 1. Mereka Dulu merasa gagal, dan merasa berkewajiban untuk mengatakan itu pada orang lain karena dulu mereka tidak melakukan itu dan menyesali ketidak beranian mereka untuk bersikap jujur dan melakukannya.

 2. Itu karena mereka sedang melakukan atau berusaha menjadi orang yang sedang jujur mati – matian dalam langkahnya yang tertatih – tatih dan karena merasa tidak terlalu yakin dengan pilihannya sendiri, dengan melihat lambat laun masyrakat ternyata membenci kejujuran dia seolah mencari teman senasib untuk melakukan hal yang sama. ( menyedihkan ).

  Itulah kenapa kebanyakan orang lebih senang menyalahkan orang lain daripada menyalahkan bertanya pada diri sendiri tentang dimana tepatnya letak kesalahannya itu sendiri bermula .
“kebanyakan orang berusaha untuk merubah dunia, tapi tidak pernah berusaha merubah dirinya sendiri “ entah Charles Bukowski entah Leo Tolstoy yang mengatakan demikian, anyway itu benar, kebanyakan orang ternyata memohon – mohon untuk diterima dunia dengan segala pandangannya yang mendyedihkan dan ketika dunia tidak memberikan feedback yang diharapkan mereka mulai menyalahkan dunia itu sendiri .

  Kebanyakan kalian sering bertanya seperti ini “ kenapa sih yah, aku gak abis pikir “ nah justru saya sendiri merasa tidak habis pikir pada konsep dari cara kalian berpikir tentang tak habis pikir itu sendiri .
  Karena pikiran kalian tentang tak habis pikir itu sendiri, bukanlah pikir yang dalam cara berpikir yang sebenar – benarnya berpikir . ( bingungnya ? ) urang make pendekatan filsafat belajar filsafat sono .

  Pikiran kalian soal tak habis pikir adalah karena kalian terlalu malas untuk mengurai kenapa satu kejadian itu terjadi, kalian lebih sibuk dengan sesuatu yang sudah terjadi, bukan sesuatu yang melatar belakangi kenapa sesuatu terjadi . ( Gogog, filsafat lagi ? ) belajar filsafat sono !

  Kadang – kadang urang berpikir kepolosan mereka itu sinonim dari keidiotan mereka, dan keidiotan mereka adalah sinonim dari kemalasan mereka, yang mana kemalasan itu sinonim dari kesudah merasaan cukup pintar menghadapi dunia padahal, setiap hal itu adalah pelajaran dan setiap hari manusia harus selalu belajar .

  Itulah kenapa urang selalu tidak pernah mau curhat pada orang yang tak benar – benar urang percaya sekalipun itu keluarga karena, biasanya mereka cuman sekedar ingin tahu bukan murni kepedulian semata .
  kedua urang gak mau mereka menerka – nerka dalam tafsiran mereka yang cacat soal kehidupan melalui cara berpikir urang kemudian menyimpulkan dengan amat sangat sederhana dan mengkategorikan urang dan kotak – kotak tentang  “siapa urang” .

  semuanya bermotiv ,” Because Everybody’s selfish somewhere in their core and they’ll lie to make things happen according to their will “ artina urang selalu percaya motivasi murni dibelakang tingkah mereka seperti itu hanya karena tertarik dan ingin tahu saja, bukan soal alasan yang bukan  tentang keegoannya sendiri dari bersikap seperti nabi atau yang berbau sikap terhormat .

  Saya udah gak pernah mau didik orang ( temen & saudara – saudara ) saya pake lisan, karena ketika saya menelanjangi mereka dengan semua kebenaran yang mereka sadari namun enggan mereka akui saya tiba – tiba dilempari sebuah benda yang cukup berat dan disusul dengan perkataan “ Goblog “, yah Nietzche bener soal kebanyakan orang enggan dikasih tahu soal kenyataan karena bagi mereka itu sama saja dengan merusak pakem dari ilusi yang mereka ciptakan sendiri untuk menenangkan dirinya sendiri .

  Jadi saya milih cara pake tulisan sekalipun saya kurang percaya diri dan ragu soal mereka mengerti atau tidak atas apa yang saya tulis, yah terdengar agak melecehkan kapabilitas kecerdasan mereka memahami tulisan saya sih, cuman tingkat kecerdasan dan kelapangan hati orang – orang soal kritik kan beda – beda ya ?

  Nah saya mah udah sampe pada satu titik nerima apapun yang diperlihatkan dunia, bahkan cenderung tidak peduli dan feel nothing again sama yang lain – lain .
Sedang kebanyakan orang mah sebaliknya , dan saya akan memaklumi mereka pake bahasa latin “ quot erat demonstradum “.

So .. sampai ketemu di tulisan selanjutnya .

Comments

Popular posts from this blog

"Pemrograman sebagai Filsafat Bahasa Tingkat Tinggi: Perspektif Seorang Lulusan Sastra Inggris yang Terjun ke Dunia Teknologi"

Komputasi, Lingustik, dan Dasein ala Heidegger

Terbentur, terbentur kemudian terbentuk: the experiences of daily activites at UKRI