Stop self-esteem!
Kalo kata para mahasiswa ketika kita bicara atau menulis sesuatu harus menyertakan catatan kaki, dan itu juga yang saya pelajari di buku ilmu komunikasi yang saya baca yang bukunya saya beli di balubur dengan harga diskon yang amat sangat merakyat .
Anyway saya gak peduli sama catatan kaki, kenapa ? saya gak lagi bikin disertasi, skripsi apalagi bikin puisi, saya cuman nulis apa yang seharusnya saya tumpahkan, yah cuman lewat tulisan saya tetap bermain – main dengan kesunyian ditengah para brengsek yang sering teriak – teriak seenaknya diluar sana dengan segala penilaiannya yang timpang yang landasan moralnya murni hanya keangkuhan yang rapuh tak berarah ( aww puitis kitu sa ).
Salahkah jika seorang yang tidak mengenyam pendidikan lanjutan seperti kuliah atau masuk universitas setelah selesai SMA, kemudian memilih untuk hanya menlanjutkan pendidikan melalui memperbanyak ilmu hanya dengan membaca buku, kemudian mengklaim dirinya sendiri sebagai orang yang berpendidikan dan terpelajar ?
Karena jika menilik kembali pada sejarah soal pendidikan atau belajar itu sendiri, ini semua soal mau atau enggak aja.
Gini deh, saya terangin sedikit sejarahnya ya ? kata sekolah diserap dari kata Schoolnya bahasa inggris, yang sebenarnya kata itu juga diambil dari kata Scholae,Skole,Seola,Seoloe yunani atau latin, artinya apa ? artinya “ waktu senggang “ atau “ waktu luang “, jadi orang – orang yunani dulu sering mengisi waktu luangnya mereka ini dengan mengunjungi tempat – tempat yang diisi oleh sekumpulan – sekumpulan anak – anak muda yang senang mendiskusikan soal apapun .
Kemudian dari yang awalnya cuman mengisi waktu luang menjadi satu kebiasaan tersendiri bagi mereka, nah kebiasaan ini terus berlanjut hingga setiap anak muda ini menikah dan memiliki kesibukan lain untuk menafkahi pernikahan mereka sendiri .
Namun kebiasaan ini akhirnya diturun temurunkan pada anak – anak mereka di kemudian hari, karena si orang tua mulai sibuk mencari uang mereka sudah tak memiliki waktu luang lagi, dan mewariskan kebiasaan mereka pada anak – anaknya . dan tempat yang mereka sebut sebagai seola ini selain dijadikan tempat penitipan dijadikan juga tempat pendidikan anak .
Maka sejak itulah beralih fungsi sebagian dari yang disebut seola matterna ( pengasuhan ibu hingga usia tertentu ) yang merupakan proses lembaga sosial pertama dan tertua di dunia ini menjadi seola in loco parentis ( lembaga pengasuhan anak di luar rumah sebagai pengganti orang tua ), itulah pula yang kemudian awal mula adanya istilah alma matter atau ibu asuh yang memberi ilmu, setelah kita lulus dari sekolah .
Namun di kemudian hari semakin berkembangnya kemajuan zaman serta kesibukan dan segala macam kebutuhannya, para pengajar menuntut upah yang mana waktu dulu bisa kita katakana jatah untuk makan dan minum saja sebagai pengganti dari waktu – waktu para pengajar untuk mengajar anak – anak yang dititipkan pada mereka .
Hingga dikemudian hari berdasarkan apa yang dirumuskan oleh johanes amos Comenius tentang tulisannya buku didacta magna yang kemudian disempurnakan oleh john heinrich pestalozi di abad 18 yang isinya membagi tiap siswa berdasarkan usia dan ajaran – ajaran mana saja yang pantas diberikan berdasarkan perbedaan usianya itu sendiri, yang kini sering kita sebut mata pelajaran, jangan lupa dengan harga pendidikannya itu sendiri, itu produk mereka juga loh ( well anyway kita harus sadar bahwa pendidikan pun dikapitalisasi ) .
Anyway just Trivia konon katanya, bangsa tionghoa sudah melakukan pengajaran sebelum kelahiran yesus kristus, kemudian setengah abad setelahnya barulah bangsa brahman dengan pengajaran – pengajaran atau sekolah vedanya .
Itulah kenapa mungkin ada korelasinya dengan apa yang disabdakan nabi Muhammad SAW, tentang pengetahuannya sendiri yang begitu dalam “ carilah ilmu hingga ke negri cina “.
hingga akhirnya bertemu pada akademi – akademi yang dibuat Plato setelah kematian gurunya Socrates .
Nah apakah dengan mengetahui fakta dari sejarah ini saja kita berhak dan gak mesti merasa malu mengklaim diri kita itu cukup berotak dan berpendidikan, sekalipun kita tidak mengenyam pendidikan formal seperti kebanyakan orang .
Meskipun pada kenyataannya masyarakat akan menolak mengakui itu, karena pengakuan itu bisa mereka ungkapkan jika mereka melihat bahwa saya atau kalian pergi pagi dan pulang suatu hari dengan membawa ijasah dengan menenteng topi wisuda .
Ini yang sering saya teriak – teriakan bahwa moralitas masyarakat itu cacat dan pongah, tidak adil mereka menilai sesuatu berdasarkan hasil, bukan prosesnya .
Jangankan kebanyakan orang ( masyarakat ) temen – temen SD sampai SMA saya aja sinis terhadap perubahan saya .
Toh meskipun begitu saya paham kesinisan mereka berangkat dari 2 faktor berikut :
1. Mereka tahu dulu saya persis seperti orang bodoh
2. Mereka tersinggung, dan rasa kesuperioritasan gengsi mereka yang melihat seorang kutu buku seperti saya lebih banyak tahu dan terdengar terpelajar dari mereka yang notabene menghabiskan waktu dan biaya yang banyak untuk lulus sebagai mahasiswa, serentak runtuh martabat mereka bila mengakui itu .
Unfortunately itulah faktanya, tapi jika terus menilai terlalu tinggi tanggapan masyarakat, menilai terlalu tinggi gelar, dan menilai terlalu tinggi status sosial seseorang sebagai bahan ukuran kita untuk mengakui orang lain sesungguhnya kita sedang benar – benar menjadi orang idiot .
Kemudian orang – orang seperti saya akan jatuh pada limbo kemerasa rendahan diri pada hidup yang serba diukur dan dinilai pada ukuran – ukuran seperti itu , bahayanya itu akan membuat kita tidak berani mematahkan pikiran negative kita tentang takdir itu sendiri, bahwa “ Hidup kita tidak akan lebih baik jika kita tidak memiliki gelar akademis “, padahal baik atau tidaknya takdir dan nasib kita itu tidak ditentukan dengan gelar akademis kita tetapi pada bertindak atau tidak bertindaknya kah kita terhadap nasib kita sendiri .
Anyway saya gak peduli sama catatan kaki, kenapa ? saya gak lagi bikin disertasi, skripsi apalagi bikin puisi, saya cuman nulis apa yang seharusnya saya tumpahkan, yah cuman lewat tulisan saya tetap bermain – main dengan kesunyian ditengah para brengsek yang sering teriak – teriak seenaknya diluar sana dengan segala penilaiannya yang timpang yang landasan moralnya murni hanya keangkuhan yang rapuh tak berarah ( aww puitis kitu sa ).
Salahkah jika seorang yang tidak mengenyam pendidikan lanjutan seperti kuliah atau masuk universitas setelah selesai SMA, kemudian memilih untuk hanya menlanjutkan pendidikan melalui memperbanyak ilmu hanya dengan membaca buku, kemudian mengklaim dirinya sendiri sebagai orang yang berpendidikan dan terpelajar ?
Karena jika menilik kembali pada sejarah soal pendidikan atau belajar itu sendiri, ini semua soal mau atau enggak aja.
Gini deh, saya terangin sedikit sejarahnya ya ? kata sekolah diserap dari kata Schoolnya bahasa inggris, yang sebenarnya kata itu juga diambil dari kata Scholae,Skole,Seola,Seoloe yunani atau latin, artinya apa ? artinya “ waktu senggang “ atau “ waktu luang “, jadi orang – orang yunani dulu sering mengisi waktu luangnya mereka ini dengan mengunjungi tempat – tempat yang diisi oleh sekumpulan – sekumpulan anak – anak muda yang senang mendiskusikan soal apapun .
Kemudian dari yang awalnya cuman mengisi waktu luang menjadi satu kebiasaan tersendiri bagi mereka, nah kebiasaan ini terus berlanjut hingga setiap anak muda ini menikah dan memiliki kesibukan lain untuk menafkahi pernikahan mereka sendiri .
Namun kebiasaan ini akhirnya diturun temurunkan pada anak – anak mereka di kemudian hari, karena si orang tua mulai sibuk mencari uang mereka sudah tak memiliki waktu luang lagi, dan mewariskan kebiasaan mereka pada anak – anaknya . dan tempat yang mereka sebut sebagai seola ini selain dijadikan tempat penitipan dijadikan juga tempat pendidikan anak .
Maka sejak itulah beralih fungsi sebagian dari yang disebut seola matterna ( pengasuhan ibu hingga usia tertentu ) yang merupakan proses lembaga sosial pertama dan tertua di dunia ini menjadi seola in loco parentis ( lembaga pengasuhan anak di luar rumah sebagai pengganti orang tua ), itulah pula yang kemudian awal mula adanya istilah alma matter atau ibu asuh yang memberi ilmu, setelah kita lulus dari sekolah .
Namun di kemudian hari semakin berkembangnya kemajuan zaman serta kesibukan dan segala macam kebutuhannya, para pengajar menuntut upah yang mana waktu dulu bisa kita katakana jatah untuk makan dan minum saja sebagai pengganti dari waktu – waktu para pengajar untuk mengajar anak – anak yang dititipkan pada mereka .
Hingga dikemudian hari berdasarkan apa yang dirumuskan oleh johanes amos Comenius tentang tulisannya buku didacta magna yang kemudian disempurnakan oleh john heinrich pestalozi di abad 18 yang isinya membagi tiap siswa berdasarkan usia dan ajaran – ajaran mana saja yang pantas diberikan berdasarkan perbedaan usianya itu sendiri, yang kini sering kita sebut mata pelajaran, jangan lupa dengan harga pendidikannya itu sendiri, itu produk mereka juga loh ( well anyway kita harus sadar bahwa pendidikan pun dikapitalisasi ) .
Anyway just Trivia konon katanya, bangsa tionghoa sudah melakukan pengajaran sebelum kelahiran yesus kristus, kemudian setengah abad setelahnya barulah bangsa brahman dengan pengajaran – pengajaran atau sekolah vedanya .
Itulah kenapa mungkin ada korelasinya dengan apa yang disabdakan nabi Muhammad SAW, tentang pengetahuannya sendiri yang begitu dalam “ carilah ilmu hingga ke negri cina “.
hingga akhirnya bertemu pada akademi – akademi yang dibuat Plato setelah kematian gurunya Socrates .
Meskipun pada kenyataannya masyarakat akan menolak mengakui itu, karena pengakuan itu bisa mereka ungkapkan jika mereka melihat bahwa saya atau kalian pergi pagi dan pulang suatu hari dengan membawa ijasah dengan menenteng topi wisuda .
Ini yang sering saya teriak – teriakan bahwa moralitas masyarakat itu cacat dan pongah, tidak adil mereka menilai sesuatu berdasarkan hasil, bukan prosesnya .
Jangankan kebanyakan orang ( masyarakat ) temen – temen SD sampai SMA saya aja sinis terhadap perubahan saya .
Toh meskipun begitu saya paham kesinisan mereka berangkat dari 2 faktor berikut :
1. Mereka tahu dulu saya persis seperti orang bodoh
2. Mereka tersinggung, dan rasa kesuperioritasan gengsi mereka yang melihat seorang kutu buku seperti saya lebih banyak tahu dan terdengar terpelajar dari mereka yang notabene menghabiskan waktu dan biaya yang banyak untuk lulus sebagai mahasiswa, serentak runtuh martabat mereka bila mengakui itu .
Unfortunately itulah faktanya, tapi jika terus menilai terlalu tinggi tanggapan masyarakat, menilai terlalu tinggi gelar, dan menilai terlalu tinggi status sosial seseorang sebagai bahan ukuran kita untuk mengakui orang lain sesungguhnya kita sedang benar – benar menjadi orang idiot .
Kemudian orang – orang seperti saya akan jatuh pada limbo kemerasa rendahan diri pada hidup yang serba diukur dan dinilai pada ukuran – ukuran seperti itu , bahayanya itu akan membuat kita tidak berani mematahkan pikiran negative kita tentang takdir itu sendiri, bahwa “ Hidup kita tidak akan lebih baik jika kita tidak memiliki gelar akademis “, padahal baik atau tidaknya takdir dan nasib kita itu tidak ditentukan dengan gelar akademis kita tetapi pada bertindak atau tidak bertindaknya kah kita terhadap nasib kita sendiri .
Bahkan tak jarang kita jadi gak ngerasa berani untuk bermimpi besar karena kita tidak berpendidikan ( bergelar akademis ), kadang kita merasa kikuk di hadapan para akademisi yang berdandan necis , hingga bahkan membuat kita takut beropini di depan mereka .
Gini deh, kepada semua kutu buku dan yang senang mengkritisi hidup yang cukup merasa diri ber-otak, udah saatnya kalian untuk speak up, bersikap dan berontak pada stagnasi stigma – stigma yang melemahkan kita untuk menjadi lebih berani .
Saya akan mengatakan hal yang sama seperti yang dilakukan karl marx kepada semua buruh di seluruh dunia, tapi saya edit sedikit “ bersatulah kutu buku di seluruh dunia “, maksud saya gini kalo kecakapan berbahasa dan beropini masih menjadi priveledgenya para kaum intelektual dan akademisi, terus bagian kita dimana ?
Jadi orang – orang seperti urang kiyeu ulah ngomong kitu ? karena akan terdengar sotoy, arogan, tinggi dan kampungan ? persetan dengan itu .
Saya kasih contoh yah maksud dari apa yang saya katakana diatas, beberapa temen SD sampai SMA saya merasa syok dan terheran – heran dengan begitu banyaknya perubahan yang saya alami akhirnya saya bilang “ Cerdas atau tidaknya seseorang tidak bisa dengan serta merta dinilai berdasarkan nilai – nilai akademisnya di masa lalu “.
Yah yah kita gak usah ngomongin Tasya kamila, iqbal ramadahan, maudy ayunda, gita gutawa sampai mariana renata yang S3 karena mereka itu 1 dari 10, 10 dari 100, 100 dari 1000, 1000 dari 10000, 10000 dari 100000 dan 100000 dari satu juta, kita ngomongin kebanyakan orang aja deh yah, intinya orang – orang yang kapasitas kecerdasan otaknya nihil kaya saya akan selalu dianggap sok tahu dan sok pintar, karena boro – boro masuk 10 besar jadi siswa yang masuk list daftar orang yang bisa diconteki saja gak masuk .
So otomatis mereka akan sinis dan pesimis sama saya, padahal mungkin dulu saya hanya tidak tertarik pada apa yang ditawarkan guru, karena guru biasanya focus pada anak – anak yang bisa cepat ngerti pada uraian yang dipaparkan guru di depan kelas .
Saya sih gak masalah sama itu, karena guru juga manusia, cuman kadang – kadang yang jadi masalah, terkadang selalu ada anggapan bahwa siapapun yang gak becus pada pelajaran – pelajaran sekolah mereka juga akan gak becus pada hal – hal lain sejak hari itu hingga nanti di masa depan .
Padahal tidak cakap dan tidak mengetahui hal – hal tertentu di sekolah tidak lantas membuat kami orang – orang yang seolah tidak dihiraukan guru itu berarti bodoh .
Bahkan sebenarnya kata cerdas, pintar atau intelegen itu cuman sekedar kata identifikasi dari satu konsep bukan satu substansi .
terus apa ath artinya kata cerdas, pintar dan inteligen itu ? artinya yaitu, satu perbuatan efisien pada satu aktivitas tertentu, praktisnya adalah segala sesuatu yang dilakukan secara cepat, mudah dan adekwat .
Parahnya lagi salah satu buku yang saya baca seolah mengukuhkan apa yang saya percaya sejak dulu sebelum seperti ini bahwa I.Q itu bukan ukuran mutlak seseorang itu cerdas atau kagak, tapi murni hanya klasifikasi semata yang manusia sengaja buat untuk menggolong – golongkan orang pada kategori – kategori tertentu .
Kalian pengen tahu siapa pencetus test psikotes ini ? ia adalah Alfred binet dan dokter dari prancis namanya simon pada tahun 1890 dan tes I.Q ini dulu disebut test skala intelegensi binet .
Nah I.Q itu sendiri adalah satu konsep yang diciptakan atas format pengukuran kecerdasa kognitif dan kecerdasa psikis secara umum .
dan pembedaannya dibagi menjadi dua macam .
Kecerdasan usia secara kronologis dan kecerdasan usia secara psikologis,
Tipe pertama disebut
1.orang normal
2. Orang lemah jiwa
Kita bahas nomor 1, orang normal atau inferior tingkat ukuran I.Q nya itu di range(90 – 110), dan cara identifikasi melalui psikotesnya melalui sederet pertanyaan – pertanyaan umum .
for examples :
Seorang anak berumur 5 tahun, 6 tahun dan 7 tahun diberi soal yang sama yang tingkat kesukarannya dibuat pada soal – soal yang berkaitan dengan hal – hal yang biasanya masalah – masalah yang dialami oleh anak umur 5 tahun .
Dan jika semua range umur yang saya tulis di atas, mampu menyelesaikan semua jawaban dengan benar dan sampai pada nilai ukuran ( 90 – 110 ) maka mereka masuk ke kategori orang – orang normal, atau orang – orang yang ber I.Q di range wajar atau normal, karena kecerdasan kognitif dan kecerdasan pisikoligisnya telah mengetahui atau melampaui tiap – tiap soal dari tiap test tersebut .
intinya kecerdasan pisikis dan kognitif mereka itu selaras dengan pengetahuan usia psikis dan usia kronologisnya itu sendiri .
Nah lalu bagaimana dengan orang yang berada di kisaran usia 5, 6 dan 7 tahun diatas tadi menemukan kesulitan dan tidak mendapatkan hasil yang diharapkan ? maka mereka masuk ke golongan tipe ke – 2.
Mari kita bahas oke ? masih kuat bacakan ? gak cape ?
Orang – orang lemah jiwa menurut binet, orang – orang ini bukanlah orang – orang yang berarti gila tapi lebih kearah pengertian kata lamban .
Well, bagi kebanyakan orang yang miskin kosa kata dan minim pengertian dari definisi bahasa – bahasa ilmiah lamban itu berarti bodoh padahal jelas mereka semua keliru .
Orang – orang lamban itu punya sedikit masalah terhadap bagaimana cara mereka mengolah tiap informasi yang datang pada mereka dengan cara yang paling mudah .
kan bukan berarti tidak menyenangi hal – hal rumit dan memilih memecahkan masalah dengan pendekatan – pendekatan sederhana itu bukannya efisien, bahkan ironisnya kita tidak menganggap bahwa cara itu adalah cara jenius .
Sejalan loh dengan apa yang dikatakan bill gates, dia senang memeperkerjakan orang – orang lamban dan tidak berpendidikan ( bukan akademisi lanjutan ), alasannya orang – orang seperti itu selalu menemukan cara – cara termudah untuk menyelesaikan masalah rumit .
Para Autis biasanya juga masuk ke kategori ke – 2, tapi bukan autis yang savant yah, tapi autism syndrome aja, hampir mungkin seperti Asperger, OCD, dan neurosis .
Nah orang – orang lemah jiwa atau kategori tip eke – 2 menurut binet adalah orang – orang yang memiliki disorientasi soal menyelaraskan perkembangan mental psikis mereka dan mental kronologis mereka ( khususnya soal pengetahuan ).
Kemudian apa itu umur psikis dan apa itu umur kronologis, nah umur psikis adalah umur atau usia mental, kalo umur kronologis adalah usia atau nomor dari jumlah tahun si pemilik umurnya itu sendiri .
Contoh ketidak selarasannya seperti apa itu ?, kaya gini, ada anak berumur 18 tahun namun bersikap seperti seorang anak yang berumur 10 tahun, masih bingung ?
Gini deh, waktu SMA dulu saya punya temen perempuan, namanya S***dus ,nah ini anak meskipun berumur dikisaran 16 – 17 tahun tapi mentalnya kaya anak berumur 11 – 14 tahun, ini anak gampang sekali nangis, gampang sekali tersinggung dan pastinya manja .
Perbedaan inilah yang mencakup perbedaan dua jenis tadi yang berkorelasi dengan pengertian I.Q sendiri .
Nah balik ke kasus saya, kenapa akhirnya kebanyakan temen saya merasa syok dan sinis pada perubahan saya sendiri itu karena mereka tahu dulu saya si Trouble maker, perusuh dan si bodoh yang kocak .
Padahal pada dasarnya dulu saya hanya lamban, karena ketika semua anak seumuran dengan saya mampu mengisi semua soal dengan baik saya malah tidak, akhirnya saya menyadari satu hal bahwa ada ketidak selarasan antara umur psikis dan umur kronologis .
Which is aspek fundamental dari masalahnya itu sendiri adalah pada rasa kepenasaran kita sendiri tentang satu atau dua pertanyaa “ why ? “ dan “ How ? “.
artinya kecerdasa kognitif kami atau saya terhambat oleh kecerdasan psikis saya yang dihambat oleh dua pertanyaan barusan .
Karena menurut saya kecerdasan kognitif mereka adalah bentuk dari penerimaan mutlak, mereka bukan paham tapi hapal .
karena siapa juga yang mau menyibukan diri anak – anak seumuran sekolahan dasar hingga SMA nyari – nyari landasan prinsipil dan makna pilosopisnya itu sendiri tentang apa yang selama ini mereka ketahui sendiri .
Bahwa sepertinya mereka tidak merasa terganggu ketika 1 + 1 = 2, atau setelah A adalah B dan sebelum D adalah C, kalo kata tan Malaka mereka – mereka itu pemilik otak – otak mekanis aja mereka itu Statis .
Salah gak kalo gitu ? saya pikir enggak juga, balik lagi ya karena mereka anak – anak yang dikatakan Normal .
Sampai akhirnya beberapa temen saya syok dan sinis seketika melihat banyak perubahan terhadap diri saya sendiri .
Alasannya itu karena mereka tahu siapa saya dulu, yang membuat mereka emoh bahkan me-negasi pengetahuan dan pemahaman saya yang sepadan dengan mereka, mereka juga akan menolak dan tidak menerima bahwa saya terpelajar untuk ukuran sekelas orang yang senang mengurung diri hanya dengan buku .
Sebentar – sebentar sa, sedikit banyak mungkin dari kalian yang baca ini berpikir bahwa saya seolah membenci mahasiswa ?
enggak juga, karena ada juga beberapa teman saya yang mahasiswa terang – terangan mengakui bahwa saya cukup terpelajar dengan cara yang berbeda .
Tujuan saya memosting tulisan yang saya garap 3 hari ini cuman satu, saya menyentil orang – orang yang selalu merasa kikuk jika berhadapan dengan orang – orang yang mengenakan jas almamater.
Justru kita seharusnya tidak perlu merasa rendah dan terintimidasi oleh status sosial orang lain, yang kudu dipegang sama semua orang itu bahwa benar semua orang berdrajat sama diciptakan tuhan melainkan ketaqwaannyalah saja yang membedakan, itu aja yang perlu kita pegang dan bawa kemana – mana .
Saya sendiri sadar betul bahwa ke-kikukan kalian itu berdasarkan kesadaran kalian sendiri yang tak mampu seperti mereka dan merasa tidak se-level dengan mereka .
Tapi sadarilah kesadaran itu pun dibentuk oleh ukuran dari konsep kita sendiri yang menilai terlalu tinggi nilai – nilai dari pada gengsi itu sendiri .
Kalian terlalu terpaku pada dihormati berarti bergelar akademis, bahagia berarti bermobil dua, kaya berarti selalu mewah dan rumah dimana – mana.
Sikap merendahkan diri sendiri dan menuduhkan segalanya pada takdir which is selubung dari mneyalahkan tuhan secara diam – diam adalah sikap dari orang – orang idiot yang bermental dungu .
So, mulai hari ini Klaim bahwa kalian sepadan, “ Carpe diem “ kata robin William di film dead poet society, renggutlah hari ini .
Doing Things changes things, and not doing things not changes everything !
Comments
Post a Comment