MA - DI - LOG part 1



  Hola, Como estas Amigo ? ciee yang lagi belajar bahasa spanyol belagu lu, eh whats the point of being clever if you don’t prove it bener teu ?
  Apa perbedaan antara mahasiswa dan kutu buku ? cuman satu ko, mahasiswa itu tahu sedikit tapi banyak sedangkan kutu buku itu tahu banyak tapi sedikit .

  Sekali lagi saya ingatkan ini bukan cobaan jadi kalian gak usah bersabar, dan gak perlu belajar filsafat untuk sekedar memahami pertanyaan diatas, karena saya udah bisa bayangkan kalian denger kata filsafat aja udah bikin mengkerut itu kulit kanjut, kulit perut sama raut muka .

  Oh, gak sopan yah ? omong kosong sama sopan atau enggak, etika itu konsensus cacat dari moralitas masyarakat yang juga cacat, etika itu soal pantas dan dan tidak pantaskan ? nah saya gak peduli sama hal – hal yang kaya gitu, kata soren Kierkegaard itu soal tesisnya yang ngebahas orientasi masyarakat terhadap nilai - nilai eksistensialisme mereka sendiri so, fuck off !

  Nah ngebahas bukunya Tan malaka yang fenomenal dan terkenal yuk, judulnya MADILOG itu adalah jalur keledai yang diciptakan tan malaka, atau kalo pake bahasa ilmiahnya orang – orang akademisi mah teknik asosiasinya yang diterapin di buku mind mapnya Tony Buzan, Tujuannya menyingkat tiap kata untuk menstimulasi ingatan kita pada tiap kata yang disingkat, Ma equals with Matter atau benda atau materialism, DI adalah kepanjamgan dari Dialektika, LOG adalah Logika, bukan Logila yah, tapi Logika .
  By the way tahu Tony Buzan sama Tan Malaka  ? gak tahu, research sana gih, palingan ke google kalian mah… dasar penyembah dewa pagan mbah google !



  Anyway here we are ,
  Kalo banyak orang kesulitan baca bukunya tan malaka khususnya yang judulnya madilog bukan karena kebanyakan yang baca itu tidak sampai pemahamannya pada apa yang ditulis Tan, tapi karena meskipun pada faktanya yang baca buku ini biasanya mahasiswa, cuman sekaliber mereka aja banyak yang nyerah, karena isinya yah boleh kita katakan filsafat, ini juga kaya isi curhatan tan malaka aja makanya mungkin kebanyakan orang menyerah .

  Nah biasanya mereka yang nyerah ini yang tiba – tiba sering meng – gila – kan orang ketika siapapun yang baca buku yang sama mampu melalui segala kesulitan dalam membacanya dibandingkan dia sendiri yang gagal melewati cobaan saat membacanya .

  Nah, saya pikir belajar filsafat itu gak bikin gila, mereka cuman kurang sabar aja, menurut saya, come on jaman sekarang kali orang lebih suka yang cepet – cepet dari pada yang lama – lama which is usually kita lupa sama qualitynya bener gak ?

  Belajar filsafat itu gak kaya masturbasi, begitu ngocok begitu kerasa imajinya ( maneh bisa meureun sa make analogi nu lebih sopan ? omong kosong dengan sopan santun, do I get bonus if I act like I care ? nope, I don’t care ok ), belajar filsafat itu kaya main rubik kita harus tahu rumusnya dulu baru bisa selesein apa yang kita mulai, toh meskipun kita udah tahu rumusnya kalo kita gak sabar kita bakal stuck – stuck juga sih .

  Makanya yah kudu sabar sama pelan – pelan, gini deh ini francois bacon yah yang bilang bahwa “ sedikit ilmu filsafat bisa bikin kita jadi atheis, tapi banyak ilmu filsafat bikin kita makin deket ama tuhan “ kata francois bacon sedikit saya edit biar kekinian .

  Nah kalo orang yang ngerti justru malah bilang kaya gitu ? nah kalo orang yang gak sabar dan menyerah untuk mengerti mereka akan reaksioner bilang secara membabi buta pada orang yang sedang belajar filsafat mengatakan bahwa orang itu akan gila atau sudah gila, padahal nu gila siapa ? yah orang gila yang telanjang ditengah pasar sambil bilang “ apa itu hidup ?” ( eh sa eta mah sokrates ai maneh ) upss maaf .

  Nah kalo begitu, apa yang bikin mereka gagal baca Karya Tan Malaka Madilog ini ? biasanya mereka membaca buku ini dengan pegang satu harapan bahwa mereka akan membaca buku ini semudah membca novel – novelnya Karya Andrea hirata atau Pidi Baiq, nah yang tidak mereka sadari adalah bahwa halaman – halaman awal tulisan Tan malaka ini adalah semua rangkaian pengetahuan yang Tan malaka sendiri ketahui ketahui kemudian tan malaka coba urai sendiri dalam bentuk tulisan persis Blog lah tulisannya itu .

  Bahkan kita itu digiring pada informasi yang amat sangat besar tentang buku – buku apa yang dibaca Tan malaka, dan umumnya buku – buku yang dibaca Tan Malaka itu buku – buku yang ternyata dilarang loh dikita pada masanya hingga akhir masa orde baru .

  Buku apa aja tuh ? kaya bukunya lenin, marx, hegel, nietzche, schopenaur, Charles Darwin, pascal wagner, faraday, mendel, injil, alquran, buku – buku Tionghoa dan beberapa buku Hindustan .

  Kemudian masalah apa lagi yang biasanya jadi kendala memahami apa yang tan malaka sendiri tulis ?

  Kontek budaya dan lingkungan sosialnya Tan malaka itu sendiri lahir dan berbahasa, terlahir sebagai seorang batak ternyata mempengaruhi gaya penulisannya yang mana refleksi dan representasi yang secara spontan umumnya dialami oleh orang – orang cerdas adalah kesulitan mengejar kecepatan berpikirnya dengan tangan untuk dituliskan .

  Saya sempet mikir kirain saya, orang – orang cerdas itu cuman bikin bingung orang – orang normal itu lewat pembicaraannya doang, eh ternyata bahkan dalam bentuk tulisan malah lebih parah .
kesannya tulisan atau omongannya terkesan awut – awutan atau tidak konstruktif padahal enggak juga .

  Di buku itu tan bukan cuman mengobrak – abrik fisika, mitos, logika, matematika sains dan lain – lain sebagainya dengan pendekatan pengkajian ala – ala para akademisi, tapi dia pake caranya dia sendiri .

  Contohnya gini deh, kaya satu soal tentang tanggapan Tan Malaka pada tesis soal tidak semua pertanyaan worth it dijawab pake jawaban “ ya “ atau “ Tidak “ , Tan Malaka bilang ada banyak hal di dunia ini yang gak bisa dijawab cuman pake jawaban “ Ya “ dan “ Tidak “ doang.

  Disini kita, atau saya ngerasa dikasih tahu bahwa penting banget ngurai segala sesuatu sampe ke akar –akarnya itu, Kritis dibedah konteksnya biar tahu kontennya .
  Dia bilang kaya A belum tentu a bagi si B, karena a bagi si B bisa jadi C, sedangkan B bagi si C bisa jadi A .

  Yah ini soal sudut pandang, barulah kemudian setelah menilai semuanya dari berbagai point of view baru kita bisa bilang “ Ya “ atau “ tidak “ pada sesuatu, dengan nilai – nilai yang lebih ne-ngah .

  Bahkan di beberapa chapter selanjutnya Tan Malaka meretas premis dari tesisnya Ueberg dan Karl Marx soal dialektika, tan malaka bilang ketika bertemu masalah yang sederhana kita harus pake logika, tetapi jika ketemu sama satu masalah yang lebih rumit atau kompleks kita pake perpaduan putih dan Hitam, atau A dan Non A .

  Point ini saja menjelaskan bahwa gak ada satupun di dunia ini yang gak pantes untuk tidak dipikirkan, bahkan harus diretas sampe ke akar – akarnya .

  bahkan Tan Malaka ajipnya, bukan cuman sekedar mengamini atau menambahkan satu tesis dari satu premis filsafat orang lain.
  Ia bahkan mengkritisi, menilai dan meninjau ulang, kajian antara Karl marx dan faurbach Which is either he already knews and obviously really – really understand or really – really misunderstood, pada apa saja yang telah dia baca, which is we don’t know yet, right ?

  Tapi ini juga jadi salah satu bukti bahwa kebanyakan orang berekspektasi ketika membeli karya Tan Malaka yang ini mereka seolah berharap dapat secercah Motivasi kaya yang dikasih Mario teguh atau Deddy corbuzier, nah kalo tujuan mereka beli buku ini itu, jelas mereka bakal kecewa seratus persen .

  Tan malaka gak nawarin itu soalnya disini, disini dia kaya semacam curhat gitu soal fikirannya terhadap sesuatu yang dia tahu selama ini, dan kemudian berusaha membagikannya pada siapa saja diluar sana yang mau mencoba memahami apa yang dipikirkannya .

  Nah, udah dulu yah … nanti dilanjut di MADILOG part 2, Adios amigo ! mucho gusto !

Comments

Popular posts from this blog

"Pemrograman sebagai Filsafat Bahasa Tingkat Tinggi: Perspektif Seorang Lulusan Sastra Inggris yang Terjun ke Dunia Teknologi"

Komputasi, Lingustik, dan Dasein ala Heidegger

Terbentur, terbentur kemudian terbentuk: the experiences of daily activites at UKRI