Phenumonia, post hoc ergo propter hoc & overrated careness
Pagi-pagi adik saya nanya, “sa tau phenumonia ?”, “ya, alika oge
meninggal karena salah satu diagnosis penyakit itu juga “, saya nanya balik
kan, “ kenapa emang ?” sampai akhirnya ceritalah tuh adik saya, katanya kalo
temen pacarnya meninggal gara-gara itu, untuk orang yang gak tau, phenumonia
itu adalah nama penyakit infeksi paru-paru gak perlu saya jelasin panjang lebar
soal itu lah yah, saya juga bukan dokter.
Adik saya bilang, itu pasti karena rokok, dan katanya pembunuh terbesar di dunia salah satunya adalah penyakit ini, terus dia bilang kasian temen pacarnya yang meninggal itu, terus saya bilang “ ko kasian ? ko rokok sih ? “, adik saya jawab “ yah kasian ath, nya jelas ath rokok biasanya kan emang asap yang bikin orang kena penyakit infeksi paru-paru “, oke saya dengerin alesannya yang cuman berkutat dari rasa kasian dan paradox ironi soal rokok, saya bilang gini, “faktanya banyak juga orang yang belum meninggal saat ini atau sudah meninggal saat ini di sebabkan semata-mata oleh rokok, terus alasan kasian iyo itu pongah bukan semata-mata murni juga karena bener-bener ngerasa sedih karena kehilangan”, papar saya, adik saya nyanggah “ ko gitu ?” katanya.
Nah akhirnya saya jelasin, soal post hoc ergo propter hoc atau non causa pro causa dalam ilmu logika, itu bahasa latin dari artian yang dalam bahasa Indonesia disebut : kesesatan dari satu alasan, atau causation of fallacy, karena sesuatu terjadi diidentikan setelah sesuatu yang lain sebelumnya terjadi.
Saya tanya lebih lanjut temen pacarnya itu kerjanya dimana, jenis kerjaannya apa, rumahnya dimana, dan setelah dapet semua informasi itu saya jadi tahu kalo itu orang, kerjanya koki di salah satu restoran, kerjanya di cihampelas, rumahnya jauh dari lokasi tempat kerja, kemudian yang saya tahu jam kerja di kuliner itu bukan hanya menyita banyak konsentrasi, waktu juga tenaga, tapi menyita banyak hak-hak atas organ-organ bagian dalam tubuh kita untuk tetap prima dan sehat.
Satu fakta belakangan yang saya ketahui rupanya temen pacarnya ini juga aktif ngerokok, kemudian adik saya ngambil kesimpulan lah bahwa mungkin rokoklah causa prima dari meninggalnya temen pacarnya itu.
Mendengar asumsi itu, saya berpikir itu gak rasional – rasional banget juga, kenapa ? karena kalo pun iya harusnya saya, temennya dan banyak orang-orang yang hari ini merokok sudah pada meninggal, saya bilang gimana soal asap kompor, polusi udara yang notabene kita isep dengan even kita gak sadar sama sekali tiap hari dan detik kita isep itu asap ?
Saya pikir juga kemudian gimana soal angin malam dan angin duduk ? yang katanya tidak lebih buruk dan jahatnya dari pacar yang mendua ? ( aww), saya gak bilang bahwa rokok itu jadi boleh-boleh aja, saya ngomongin ini karena biar adik saya lebih mau merinci dan mengkritisi asumsi dan prasangkanya sendiri biar lebih ajek sama objektif aja mandang sesuatu, gak lebih dari itu .
Sampai akhirnya adik saya ngerubah kesimpulannya soal itu terus bilang “oh iya yah bisa juga karena asap di dapur di tempat kerja, polusi sama angina malem juga ya” katanya, tapi terus adik saya nanya lagi tuh.
“ terus yang soal kasian yang pongah apa ?”, saya balik nanya “iyo sepaham apa soal rasa kasian atau iba iyo sama temennya pacar iyo ?” tanya saya, “nya karunya lah pokona” justru rasa kasian yang berlebihan itulah yang gak perlu menurut saya, saya bilang “ teu kudu karunya kitu, anteup weh”, adik saya rupanya agak kebingungan sama statement saya, saya jelasinlah akhirnya.
Gini, kepahaman kita merasakan sesuatu pada sesuatu yang buruk yang terjadi pada orang lain tidak sama pahamnya dan rasanya dengan orang yang benar-benar bersangkutan dan punya hubungan dengan orang yang meninggal itu sendiri.
Kenapa ? karena logicnya kita merekuonstruksi ulang kejadian dan perasaan kalut dan ibanya pada taraf ranah akal rasional yang sifatnya kognitif membayangkan keadaan dan interpretative psikologis membayangkan perasaan, tidak semata – mata sepenuhnya kita paham secara paripurna dan adekwat pada apa yang menimpa orang lain.
Saya bilang kalo bener kita merasakan secara harfiah dan jelas atas apa yang menimpa orang lain, apa aksi nyata kita pada peristiwa Israel – palestina ? Palu dan donggala ? yah kita prihatin, iba dan turut berduka atas kejadian yang menimpa sodara kita, tapi rupanya itu hanya mewujud dalam bentuk refleksi ruang kontemplasi.
Jadi yasudah gak perlu berlebihan saya bilang ke adik saya, bahkan ketika ada teks atau telpon dari orang yang kita tahu lantas mereka minta di doakan apa kita langsung tiba-tiba ambil air wudhu, solat dua rakaat, atau pergi ke gereja, ke wihara, atau pura, atau kelenteng gitu ? kan enggak yah ? fakta dan realita kebanyakannya ya enggak kan ?
Kita cuman bilang amin.. amin aja kan? Saya bilang bahwa bahkan rasa iba adik saya itu tumbuh karena soal etika, kita bertingkah pura-pura peduli atau spontaniously care karena sifatnya alamiah kita harus peduli, tapi kalo diretas basic morilnya kepedulian kosong itu tumbuh supaya kita dianggap baik dan peduli oleh orang yang ngasih kita kabar, itu politis namanya karena secara alamiah juga itu manusiawi supaya kita dianggap manusiawi oleh orang yang menganggap kita ada dan kita pedulikan yang kita beritahukan atas kabar soal sesuatu .
Saya bilang “ iyo peduli, karena yang bilang pacar iyo“ responnya akan berlainan ketika yang bilang orang lain, kita mungkin hanya sampai pada taraf bilang “ohh” kemudian sambil lalu kita pergi aja kembali pada kesibukan kita lagi .
Sejatinya yah itu faktanya , adik saya akhirnya bilang “nya oge sih, karena pacar abi yang bilang heheheh” See ? is that coincidence ? nope, itu bisa diretas sama psikologi dan logika, so mari baca buku yang banyak ya, biar bisa lebih adil sama rasa keadilan kita sendiri.
Adik saya bilang, itu pasti karena rokok, dan katanya pembunuh terbesar di dunia salah satunya adalah penyakit ini, terus dia bilang kasian temen pacarnya yang meninggal itu, terus saya bilang “ ko kasian ? ko rokok sih ? “, adik saya jawab “ yah kasian ath, nya jelas ath rokok biasanya kan emang asap yang bikin orang kena penyakit infeksi paru-paru “, oke saya dengerin alesannya yang cuman berkutat dari rasa kasian dan paradox ironi soal rokok, saya bilang gini, “faktanya banyak juga orang yang belum meninggal saat ini atau sudah meninggal saat ini di sebabkan semata-mata oleh rokok, terus alasan kasian iyo itu pongah bukan semata-mata murni juga karena bener-bener ngerasa sedih karena kehilangan”, papar saya, adik saya nyanggah “ ko gitu ?” katanya.
Nah akhirnya saya jelasin, soal post hoc ergo propter hoc atau non causa pro causa dalam ilmu logika, itu bahasa latin dari artian yang dalam bahasa Indonesia disebut : kesesatan dari satu alasan, atau causation of fallacy, karena sesuatu terjadi diidentikan setelah sesuatu yang lain sebelumnya terjadi.
Saya tanya lebih lanjut temen pacarnya itu kerjanya dimana, jenis kerjaannya apa, rumahnya dimana, dan setelah dapet semua informasi itu saya jadi tahu kalo itu orang, kerjanya koki di salah satu restoran, kerjanya di cihampelas, rumahnya jauh dari lokasi tempat kerja, kemudian yang saya tahu jam kerja di kuliner itu bukan hanya menyita banyak konsentrasi, waktu juga tenaga, tapi menyita banyak hak-hak atas organ-organ bagian dalam tubuh kita untuk tetap prima dan sehat.
Satu fakta belakangan yang saya ketahui rupanya temen pacarnya ini juga aktif ngerokok, kemudian adik saya ngambil kesimpulan lah bahwa mungkin rokoklah causa prima dari meninggalnya temen pacarnya itu.
Mendengar asumsi itu, saya berpikir itu gak rasional – rasional banget juga, kenapa ? karena kalo pun iya harusnya saya, temennya dan banyak orang-orang yang hari ini merokok sudah pada meninggal, saya bilang gimana soal asap kompor, polusi udara yang notabene kita isep dengan even kita gak sadar sama sekali tiap hari dan detik kita isep itu asap ?
Saya pikir juga kemudian gimana soal angin malam dan angin duduk ? yang katanya tidak lebih buruk dan jahatnya dari pacar yang mendua ? ( aww), saya gak bilang bahwa rokok itu jadi boleh-boleh aja, saya ngomongin ini karena biar adik saya lebih mau merinci dan mengkritisi asumsi dan prasangkanya sendiri biar lebih ajek sama objektif aja mandang sesuatu, gak lebih dari itu .
Sampai akhirnya adik saya ngerubah kesimpulannya soal itu terus bilang “oh iya yah bisa juga karena asap di dapur di tempat kerja, polusi sama angina malem juga ya” katanya, tapi terus adik saya nanya lagi tuh.
“ terus yang soal kasian yang pongah apa ?”, saya balik nanya “iyo sepaham apa soal rasa kasian atau iba iyo sama temennya pacar iyo ?” tanya saya, “nya karunya lah pokona” justru rasa kasian yang berlebihan itulah yang gak perlu menurut saya, saya bilang “ teu kudu karunya kitu, anteup weh”, adik saya rupanya agak kebingungan sama statement saya, saya jelasinlah akhirnya.
Gini, kepahaman kita merasakan sesuatu pada sesuatu yang buruk yang terjadi pada orang lain tidak sama pahamnya dan rasanya dengan orang yang benar-benar bersangkutan dan punya hubungan dengan orang yang meninggal itu sendiri.
Kenapa ? karena logicnya kita merekuonstruksi ulang kejadian dan perasaan kalut dan ibanya pada taraf ranah akal rasional yang sifatnya kognitif membayangkan keadaan dan interpretative psikologis membayangkan perasaan, tidak semata – mata sepenuhnya kita paham secara paripurna dan adekwat pada apa yang menimpa orang lain.
Saya bilang kalo bener kita merasakan secara harfiah dan jelas atas apa yang menimpa orang lain, apa aksi nyata kita pada peristiwa Israel – palestina ? Palu dan donggala ? yah kita prihatin, iba dan turut berduka atas kejadian yang menimpa sodara kita, tapi rupanya itu hanya mewujud dalam bentuk refleksi ruang kontemplasi.
Jadi yasudah gak perlu berlebihan saya bilang ke adik saya, bahkan ketika ada teks atau telpon dari orang yang kita tahu lantas mereka minta di doakan apa kita langsung tiba-tiba ambil air wudhu, solat dua rakaat, atau pergi ke gereja, ke wihara, atau pura, atau kelenteng gitu ? kan enggak yah ? fakta dan realita kebanyakannya ya enggak kan ?
Kita cuman bilang amin.. amin aja kan? Saya bilang bahwa bahkan rasa iba adik saya itu tumbuh karena soal etika, kita bertingkah pura-pura peduli atau spontaniously care karena sifatnya alamiah kita harus peduli, tapi kalo diretas basic morilnya kepedulian kosong itu tumbuh supaya kita dianggap baik dan peduli oleh orang yang ngasih kita kabar, itu politis namanya karena secara alamiah juga itu manusiawi supaya kita dianggap manusiawi oleh orang yang menganggap kita ada dan kita pedulikan yang kita beritahukan atas kabar soal sesuatu .
Saya bilang “ iyo peduli, karena yang bilang pacar iyo“ responnya akan berlainan ketika yang bilang orang lain, kita mungkin hanya sampai pada taraf bilang “ohh” kemudian sambil lalu kita pergi aja kembali pada kesibukan kita lagi .
Sejatinya yah itu faktanya , adik saya akhirnya bilang “nya oge sih, karena pacar abi yang bilang heheheh” See ? is that coincidence ? nope, itu bisa diretas sama psikologi dan logika, so mari baca buku yang banyak ya, biar bisa lebih adil sama rasa keadilan kita sendiri.
Comments
Post a Comment