Presumption Fallacy dari idiom “Nakal Boleh, Bego Jangan“ by: Osel Resha
Wah udah lumayan lama saya gak nulis, yah karena satu dan lain hal, lagi sibuk maen musik sama beresin semua buku yang udah saya listing untuk diberesin sih, jadi sedikit agak ke ganggu sih menuangkan pikiran di blognya, tapi akhirnya karena ada sesuatu yang menarik mau gak mau saya nulis juga .
Dan inilah problem yang kita bawa, menalar idiom atau statemen tentang “ nakal boleh,bego jangan”, jadi suatu ketika di tengah obrolan yang ngalor-ngidul bareng temen, dari mulai bernostalgia soal masalalu sampai mengkritisi kedunguan kami semua soal masalalu dengan pikiran yang agak waras bila bandingkan dengan dulu, sekarang kita banyak menertawakan itu, yang padahal dulu hal-hal dungu yang kita lakukan adalah ekspresi dari pengejawentahan eksistensial kami sebagai anak kecil,tapi tiba-tiba terdengarlah satu celutukan dari salah satu temen saya, yang dia bilang waktu itu “Nakal boleh, bego jangan“, di sela-sela obrolan kami yang panjang lebar itu.
Hmm… oke at some point saya setuju dengan itu, tapi di beberapa point saya kaya semacam menemukan “kesesatan” dari sebuah asumsi, dimana letak kesesatannya itu sendiri ?saya jelasin yah ?
Gini, kalo kita setuju dengan premis bahwa “nakal boleh,bego jangan” berarti kita dengan secara tidak sadar, namun setuju secara a priori bahwa nakal itu lebih dilegalkan dari pada menjadi dungu atau bodoh, gitu kan asumsinya ? Saya terangin dulu sebentar apa itu premis, premis adalah sesuatu yang kita anggap benar, entah itu fakta, data, atau gagasan apapun itu yang timbul dari satu perlibatan proses bernalar secara a priori atau a prosteriori melalui proposisi bisa kita sebut sebagai premis.
Lalu kemudian apa itu proposisi ? adalah penalaran atau penjabaran soal sebab – sebab atau asbabun nuzulnya kita sampai pada satu kongklusi yang kita pake untuk dijadikan suatu premis, paham sampai sini ya ? saya anggap paham aja deh yah.
Balik lagi ke inti soal tentang nakal seolah dilegalkan dari pada dungu, okeh kita lihat konteks kenakalan itu sendiri, kenakalan selalu identik dengan sesuatu yang secara etis bertentangan dengan norma sosial karena ada satu konsensus dalam masyarakat yang kompromi dan sepakat bahwa sesuatu itu dikatakan tabu jika menghantam pakem – pakem value tadi .
Sesuatu bisa lebih dikatakan tabu secara lebih menditail bila kita retas menjadi lebih subjektif yaitu tidak etis secara psikologis juga secara relijiusitas, kejauhan kalo saya bahas sampai sana, tar kalian keburu males bacanya.
Gini aja, pointnya kita seolah mendapatkan permakluman umum dari orang-orang yang umum juga melakukan kenakalan, karena berdasarkan argument hominem “ setidaknya kita mengalami” contohnya, free sex, drugs, alcohol, tawuran, etc, nah orang yang mengatakan bego ke orang yang tidak mengalami atau melalui proses hidup menjadi nakal dituduh bego karena hidupnya menjemukan.
Padahal menurut saya, kenakalan itu selalu identik dengan kedunguan bukan kecerdasan, kan banyak juga orang yang akhirnya free sex, drugs, alcohol dan tawuran itu akhirnya hiv, OD, bocor lambung dan mati konyol ya ?
Terus apa lantas mereka yang selamat dari ancaman yang saya sebut diatas tidak sama konyol dan dungunya dengan mereka yang tidak selamat ? buat saya sama aja, karena hakekatnya nakal itu yah benar – benar gak perlu, karena yah buang waktu dan ciri dari pada orang dungu, yang kesulitan nemuin fungsionalnya itu sendiri dari bertingkah demikian.
Saya retas satu point lagi soal “nakal boleh bego jangan” ya ? adalah berarti ada satu kondisi kita boleh nakal kalo kita cukup berakal, kita boleh nakal kalo kita cukup pintar, cerdas dan lain-lain, gitu kan ?
Inilah basic prinsipilnya seseorang juga melakukan tindakan korupsi, menjadi pemerkosa, pembobol bank, teroris, pedopil, dan segala macam kebejatan moral yang berjuta-juta macamnya itu.
kenapa gini ? yah karena itu tadi kita jadi pinter bikin rasionalisasi, untuk mendukung argument kita supaya approvable supaya kuat landasannya, supaya menjadi terdengar masuk akal.
Jadi menurut saya, idiom “nakal boleh, bego jangan” itu juga gak keren, karena selalu ada option “nakal gak perlu, bego jangan”, kita bahas soal kata “Nakal” itu sendiri, kalo kita lepas huruf “N” dari empat huruf di depannya, maka kita ketemu sama kata “Akal”, akal itu pikiran, solusi dari hasil kuriositas seseorang untuk memecahkan problem, yang jadi masalah kalo kata akal itu artiannya sebegitu baiknya, kenapa menjadi tidak baik ketika dibubuhi huruf “N” di depannya ?
Maka saya berpikir bahwa huruf “N” ini pasti ada maknanya yang sengaja disembunyikan oleh orang yang pertama kali menyebut istilah prilaku menyimpang ini dengan kata “nakal” yang menurut segelintir orang prilaku penyimpangan ini dianggap wajar bagi anak-anak muda.
Maka kalo saya pake ilmu simbol silogisme modus ponens implikasi, maka saya akan definisikan huruf “N” itu sebagai Nalar, kita sepakati dulu sampai sini, berarti jika N itu adalah kependekan dari kata nalar maka nakal adalah nalar dari akal atau ( N-Akal), berarti disini kata nakal artinya akal ( pikiran rasional yang final ) yang dinalarisasi, dibentuk dan disepakati sebagai satu konsensus umum artianya untuk satu tujuan kesepakatan bersama.
Artinya kita boleh licik pada sesuatu yang dianggap tabu oleh publik, dan serta merta ketika kita berhasil mengelabui itu kita anggap bego atau dungu orang yang tidak mengakali apa yang dianggap tabu masyarakat itu sendiri, karena tidak mengalaminya atau memecahkan segala benteng dengan cara yang mereka lakukan.
Oke, intinya jadi gimana nih, boleh gak sih nakal ? yang penting kitanya gak bego, gitu kan pertanyaanya ? boleh, boleh aja sih, cuman buat saya nakal itu awal segala macam penyimpangan bermula, kesesatan bermula, kekeliruan bermula, kalo kalian paham, tapi kalo gak paham yah silahkan lanjutin apa yang memang dasarnya gak kalian paham, karena obviously as clear as day kalian emang dungu kalo sampe punya rasionalisasi mengatakan bahwa lebih baik nakal karena mengalami, jadi kita nya tahu, dan mengatakan bego pada orang yang tidak mengalami karena tidak tahu, yang pointnya sebenarnya adalah bentuk rasionalisasi pada dirinya sendiri untuk mengobati rasa bersalahnya sendiri di depan orang lain.
Sekian Bye…
Terimakasih.
Comments
Post a Comment