Memaknai fungsi epistomologi yang ditumbuhkan oleh karya fiksi dan implementasinya secara praktis pada kehidupan
Oke
gimana judulnya udah kaya mahasiswa tingkat satu gak ? hahahha.. sarkasme ni
saya hehe, anyway kita tinggalkan sentiment satir saya soal mahasiswa yang
melempem karena hidup yang udah serba enak yah.
Kalo ada yang tersinggung silahkan, biasanya yang tiba-tiba ngotot itu nutupin kebenaran fakta yang saya ungkap heheh.
Belakangan ini banyak orang sering marah-marah gak jelas yah spectrum pilpres itu nyampe juga ke akar rumput yah, jadi org2 dungu yang cuman modal dengerin band indie yang ngomongin politik berdasarkan bacaan buku yang arahnya doktrinisasi atau yang kajiannya standar kurikulum serta google dan Wikipedia itu sering anti sama yang namanya sejarah, filsafat dan opini.
Sejarah ? sejarah yang mana gitu kan pertanyaannya ? sejarah yang saya maksud adalah sejarah yang selama ini kita tahu yang akhirnya menjadi fakta yang kita percaya.
yang mendasari diskursus keilmuan itu adalah keraguan/kritisisem yang gejalanya adalah timbulnya kuriostas atau keraguan serta rasa keingintahuan yang tinggi pada apa yang selama ini kita tahu.
Jadi kalo saya pake neologisme yang dalam istilah silogisme implikasi dalam ilmu logika maka saya urai kaya gini, bila ilmu itu soal keraguan maka berilmu itu berarti meragu, nangkep yah sampe sini? Kenapa kaya gitu ? karena kalo pake istilah filsafat ada yang disebut tesis,antithesis dan sintesis.
saya gak akan urai tiga hal itu di sini karena emang gak perlu juga,maksud saya menuliskan itu adalah bertujuan untuk ngasih tau bahwa tiga hal itu adalah syarat mutlak tumbuhnya ilmu pengetahuan yang manfaatnya dirasakan oleh kita sekarang ini.
Semua penemuan yang bermula dari hipotesa yang akhirnya menjadi sebuah thesis tidak akan menjadi baru bila tidak ada antithesis dan juga synthesis, kenapa ? karena yah memang begitulah ilmu pengetahuan terus berkembang tidak akan berhenti, kalo pake istilah fisika itu disebut kondisi singularitas dimana semua kemungkinan akan terus semakin berkembang dan melebar sampai tak terbatas.
Terus apa hubungannya judul di atas dan filsafat ilmu yang disebut epistomologi juga mahasiswa yang jaman skrg yang sok sokan kaya yng betul aja soal sejarah yang padahal modalnya dari indoktrinisasi juga kaitannya dengan karya fiksi ?
Kaitannya ini, ada mental yang sama antara noneducated people’s dengan educated people’s, Thomas hobbes pernah bilang bahwa lingkungan itu membentuk pribadi seseorang, tapi rosseasau pernah bilang justru manusia itu sendiri yang membentuk lingkungannya.
At some point saya bisa setuju dengan kedua filsuf itu, kalo individu yang daya literasinya kuat dia bisa merubah lingkungan tapi kalo individu yang daya literasinya lemah justru individu ini yang dirubah lingkungannya.
Waktu saya ngerasa jengah karena kaya otak saya mulai agak mumet karena sistem kerjaan, aktifitas baca buku logika karya h.mundiri dan r.g, soekadijo dan educational psikologi terjemahan buchori juga hermenutika susunan f budiman itu sebagai syarat mutlak agar saya mudah menyelesaikan bacaan saya soal buku madilognya tan malaka, saya akhirnya memilih untuk kompromi dengan mengistirahatkan sejenak otak saya dengan baca fiksi.
Apa buku fiksi yang saya baca ? Canon seriesnya sir Arthur Conan Doyle, yah Sherlok Holmes, sebenernya saya udah sering banget baca buku ini, tapi lewat ebook dan baca lewat ebook itu gak seenak baca lewat buku fisiknya, nah yang menarik dari buku itu say abaca buku yang judulnya memoir of Sherlock holmes, dan itu sumpah keren gila, mungkin karena saya lebih merasuk dengan bacaanya karena rupanya ada beberapa halaman dalam ebook yang gak masuk semuanya sedang dalam buku fisik tiap lembar itu bener-bener pastinya ya gak ada yang lupa kecetak kecuali bukunya robek itu lain cerita.
Nah dari karya itu, saya makin kagum sama Sherlock holmes sebagai ikon detektfi paling terkenal di dunia, meskipun faktanya yang melatarbelakangi tokoh fiktif ini adalah tokoh fiktif yang diciptakan oleh edgar Allan Poe sebelumnya yaitu C.Auguste Dupin.
Yang sabar yah baca preview saya soal Sherlock Holmesnya, soalnya ini bakal ada kaitannya dengan judul di atas, gini Sherlock holmes pernah bilang di kasus “Study in Scarlet” semua pengetahuan dan semua hal yang dia lakukan atau pelajari adalah yang bertujuan untuk mendukung atau sebagai alat dari profesinya.
Apa yang diucapkan Sherlock Holmes itu adalah aspek filosofis atas dasar prinsip hidupnya, nah dari sini saya mengajukan pertanyaan sama kalian nih ? penting gak sih belajar banyak hal itu ? untuk beberapa orang pertanyaan ini akan dijawab dengan jawaban “ gak penting juga, ngapain? Gak praktis tuh” dan seterusnya dan seterusnya, pokonya dungu abis deh karena menilai pendidikan tujuannya untuk cari makan doang.
Padahal hakekatnya tujuan pendidikan adalah untuk membentuk kepribadian, nah Sherlock holmes itu belajar filsafat ilmu, yang mengantarkanya pada semua sub-sub keilmuan yang lain.
kaya apa misalnya ? Logika atau silogisme deduksi/induksi kemudian psikoanalisisnya freud soal psikopatologi, terus ada juga soal sejarahnya, contohnya ya kaya dengan ilmu logika dan hermeneutika kita bisa urai kesalah pahaman atas persepsi, pake psikologi kita gak gampang menghakimi seseorang, nah filsafat tujuannya untuk berpikir kritis pada semua kenyataan yang kita hadapi, jadi itu semua ilmu yang memang gak diajarin di SD sampe SMA, sekalipun mahasiswa ada yang memilih bidang spesialisasi di atas, tapi faktanya kebanyakan org tidak menerapkan itu dalam kehidupan, karena yah itu tadi tujuannya makan atau gelar, but its oke itu pilihan hidup mereka, cuman saya bilang ya.. dungu.
Nah menyangkut soal sejarah kebanyakan orang, mau itu mahasiswa atau masyarakat awam tahu sejarah ya dari apa yang diajarkan disekolah aja, kemudian ngerambah ke buku2 mainstream yang dijual di toko-toko buku yang mainstream pula, di tambah google sama Wikipedia dan dari band-band indie yang tidak kalah kurang sama dungunya.
Pointnya pengetahuan mereka itu lurus, buat saya itu dekadensi dan destruktif kenapa ? karena mereka cuman baca apa yang mereka mau baca, mereka selalu nyari makna praktis sama semua keadaan, itu tu naïf, juga cara hidup yang tidak asik, fungsi literasi supaya kita punya banyak komparasi yang tujuannya sejalan dengan tujuan adanya filsafat yang secara harfiah artiannya adalah mencintai kebijaksanaan, supaya kita menjadi pribadi yang bijaksana dalam memandang segala kehidupan.
Nah yang disayangkan rupanya kebanyakan orang itu nyinyir sama orang yang menerapkan epistomologi pada hidup seseorang, either mereka yang menstandartkan diri pada pendidikan setelah menjadi mahasiswa atau mereka yang pada cukup 12 tahun belajar saja.
Maksud saya banyak orang yang anti sama kutu buku, saya tahu karena mereka anti pikiran, kalo kata nietzche kebanyakan orang itu gak mau disuguhi kenyataan karena kenyataan itu merusak ilusi yang sudah mereka cipta, parahnya menurut saya mereka sudah bukan berilusi lagi tapi sudah hidup dengan ilusinya itu sendiri dan itu delusional.
Apalagi kalo mereka mendengar kata filsafat, wah mereka udah kaya kebakaran jenggot aja, bilang filsafat itu bikin gila, orang filsafat itu muter-muter dan filsafat itu gak ada gunanya.
kalo kalian gak ngerti filsafat atau otak kalian gak mampu nyampe sama filsafat gak usah bilang gitu, padahal setelah filsafat ada ilmu yang lebih tinggi lagi, yaitu logika, psikologi sama hermeneutika. apalagi kalo kalian denger ini yah? gila beneran kayanya kalian hehehe...
Nah point urg ini adalah mosi penolakan soal stereotype filsafat dalam pandangan umum, korban dari gagal pahamnya satu orang kemudian argumentum ad populumnya disebarin kemana-mana sampai akhirnya orang denger filsafat udah jadi kaya denger komunis dan yahudi padahal mah gak ada kaitannya sama sekali.
Kalo dirunut kebalakang pembodohan stereotype ini bergerak secara hierarkis dari pemerintah dan masyarakat itu sendiri yang berperan menamankan cara berpikir dunguan itu sendiri, kenapa ? kalo dilihat dari kepentingan pemerintah jelas jika rakyat menjadi cerdas maka pemerintah tidak akan leluasa membodohi rakyatnya itulah kenapa masyarakat kita peringkat bacanya keempat terakhir dari urutan seasia tenggara, apalagi dunia ya? Hahaha miris.
Sekalipun daya literasi ditingkatkan pemerintah, tetep aja seolah-olah publik diarahkan pada suasana pink, novel – novel roman picisan, oke untuk menstimulasi gpp, tapi rupanya kebanyakan orang itu memang malas dan jadi dungu, mereka kaya ogah baca buku komprehensif yaitu tadi gaya hidup khas kapitalis, apa itu ? ya hedonis, yang rupanya ditanamkan oleh para orang tua yang tidak kalah dungunya dengan bilang “jang hirup teh sing benghar” nah keliatan kan, padahal modal untuk benghar itu lain saukur kerja ampe keringat mengucur diantara lubang pantat loh tapi harus juga ada peran kebahagian karena kita merasa happy dengan apa yang kita kerjakan.
Orang yang minim literasi akan minim pula memaknai soal tujuan hidupnya, karena itu tadi tidak ada wujud komparasi real meskipun dalam imaji.
Lihat di sekeliling kita sekalipun mereka bersusah payah dalam kerja mereka miserable msekipun mereka bilang mereka happy karena setelah cape kerja bisa kerestoran untuk ngopi, makan dan mejeng kemudian di upload di instagram sebagai deklarasi aspirasi yang terwujud yang padahal itu palsu !
Ini udah terlalu panjang lebar, saya tutup pake statement gini aja,justru hanya dengan literasilah kita punya daya yang lebih kuat untuk mendorong kesadaran kita untuk mempertanyakan makna hidup dari yang namanya gengsi pada yang namanya fungsi.
Jadi literasi dan tidak pernah menutup diri pada yang namanya edukasi itu memiliki tekanan pada kita agar hidup lebih bahagia dan kaya, yah kekayaan yang bertumpu pada hakikat bukan nafsu.
Karena kebanyakan orang itu hanya senang sebab mereka pake nafsu tapi org yang mampu berpikir kritis hidupnya bahagia sebab mereka terlibat dengan hakikat.
Jadi pesen saya, jangan anti sama yang namanya filsafat atau orang yang kutu buku atau seneng sekali baca buku, lantas bilang orang-orang itu sok pintar dan lain sebagainya apalagi kalo rupanya org2 yang kutu buku itu tidak punya legimitasi “pinter” dari Negara, apa itu ? “Ijasah”.
Just because peoples being smarter than you without legitim stuff from government doesn’t mean they not deserve to be accepted oke, cukup kalian berusaha untuk lebih pintar dari lawan bicara kalian kalo kalian gak mau nerima mereka, itu aja gak usah pake nyinyir oke ? bye.
Kalo ada yang tersinggung silahkan, biasanya yang tiba-tiba ngotot itu nutupin kebenaran fakta yang saya ungkap heheh.
Belakangan ini banyak orang sering marah-marah gak jelas yah spectrum pilpres itu nyampe juga ke akar rumput yah, jadi org2 dungu yang cuman modal dengerin band indie yang ngomongin politik berdasarkan bacaan buku yang arahnya doktrinisasi atau yang kajiannya standar kurikulum serta google dan Wikipedia itu sering anti sama yang namanya sejarah, filsafat dan opini.
Sejarah ? sejarah yang mana gitu kan pertanyaannya ? sejarah yang saya maksud adalah sejarah yang selama ini kita tahu yang akhirnya menjadi fakta yang kita percaya.
yang mendasari diskursus keilmuan itu adalah keraguan/kritisisem yang gejalanya adalah timbulnya kuriostas atau keraguan serta rasa keingintahuan yang tinggi pada apa yang selama ini kita tahu.
Jadi kalo saya pake neologisme yang dalam istilah silogisme implikasi dalam ilmu logika maka saya urai kaya gini, bila ilmu itu soal keraguan maka berilmu itu berarti meragu, nangkep yah sampe sini? Kenapa kaya gitu ? karena kalo pake istilah filsafat ada yang disebut tesis,antithesis dan sintesis.
saya gak akan urai tiga hal itu di sini karena emang gak perlu juga,maksud saya menuliskan itu adalah bertujuan untuk ngasih tau bahwa tiga hal itu adalah syarat mutlak tumbuhnya ilmu pengetahuan yang manfaatnya dirasakan oleh kita sekarang ini.
Semua penemuan yang bermula dari hipotesa yang akhirnya menjadi sebuah thesis tidak akan menjadi baru bila tidak ada antithesis dan juga synthesis, kenapa ? karena yah memang begitulah ilmu pengetahuan terus berkembang tidak akan berhenti, kalo pake istilah fisika itu disebut kondisi singularitas dimana semua kemungkinan akan terus semakin berkembang dan melebar sampai tak terbatas.
Terus apa hubungannya judul di atas dan filsafat ilmu yang disebut epistomologi juga mahasiswa yang jaman skrg yang sok sokan kaya yng betul aja soal sejarah yang padahal modalnya dari indoktrinisasi juga kaitannya dengan karya fiksi ?
Kaitannya ini, ada mental yang sama antara noneducated people’s dengan educated people’s, Thomas hobbes pernah bilang bahwa lingkungan itu membentuk pribadi seseorang, tapi rosseasau pernah bilang justru manusia itu sendiri yang membentuk lingkungannya.
At some point saya bisa setuju dengan kedua filsuf itu, kalo individu yang daya literasinya kuat dia bisa merubah lingkungan tapi kalo individu yang daya literasinya lemah justru individu ini yang dirubah lingkungannya.
Waktu saya ngerasa jengah karena kaya otak saya mulai agak mumet karena sistem kerjaan, aktifitas baca buku logika karya h.mundiri dan r.g, soekadijo dan educational psikologi terjemahan buchori juga hermenutika susunan f budiman itu sebagai syarat mutlak agar saya mudah menyelesaikan bacaan saya soal buku madilognya tan malaka, saya akhirnya memilih untuk kompromi dengan mengistirahatkan sejenak otak saya dengan baca fiksi.
Apa buku fiksi yang saya baca ? Canon seriesnya sir Arthur Conan Doyle, yah Sherlok Holmes, sebenernya saya udah sering banget baca buku ini, tapi lewat ebook dan baca lewat ebook itu gak seenak baca lewat buku fisiknya, nah yang menarik dari buku itu say abaca buku yang judulnya memoir of Sherlock holmes, dan itu sumpah keren gila, mungkin karena saya lebih merasuk dengan bacaanya karena rupanya ada beberapa halaman dalam ebook yang gak masuk semuanya sedang dalam buku fisik tiap lembar itu bener-bener pastinya ya gak ada yang lupa kecetak kecuali bukunya robek itu lain cerita.
Nah dari karya itu, saya makin kagum sama Sherlock holmes sebagai ikon detektfi paling terkenal di dunia, meskipun faktanya yang melatarbelakangi tokoh fiktif ini adalah tokoh fiktif yang diciptakan oleh edgar Allan Poe sebelumnya yaitu C.Auguste Dupin.
Yang sabar yah baca preview saya soal Sherlock Holmesnya, soalnya ini bakal ada kaitannya dengan judul di atas, gini Sherlock holmes pernah bilang di kasus “Study in Scarlet” semua pengetahuan dan semua hal yang dia lakukan atau pelajari adalah yang bertujuan untuk mendukung atau sebagai alat dari profesinya.
Apa yang diucapkan Sherlock Holmes itu adalah aspek filosofis atas dasar prinsip hidupnya, nah dari sini saya mengajukan pertanyaan sama kalian nih ? penting gak sih belajar banyak hal itu ? untuk beberapa orang pertanyaan ini akan dijawab dengan jawaban “ gak penting juga, ngapain? Gak praktis tuh” dan seterusnya dan seterusnya, pokonya dungu abis deh karena menilai pendidikan tujuannya untuk cari makan doang.
Padahal hakekatnya tujuan pendidikan adalah untuk membentuk kepribadian, nah Sherlock holmes itu belajar filsafat ilmu, yang mengantarkanya pada semua sub-sub keilmuan yang lain.
kaya apa misalnya ? Logika atau silogisme deduksi/induksi kemudian psikoanalisisnya freud soal psikopatologi, terus ada juga soal sejarahnya, contohnya ya kaya dengan ilmu logika dan hermeneutika kita bisa urai kesalah pahaman atas persepsi, pake psikologi kita gak gampang menghakimi seseorang, nah filsafat tujuannya untuk berpikir kritis pada semua kenyataan yang kita hadapi, jadi itu semua ilmu yang memang gak diajarin di SD sampe SMA, sekalipun mahasiswa ada yang memilih bidang spesialisasi di atas, tapi faktanya kebanyakan org tidak menerapkan itu dalam kehidupan, karena yah itu tadi tujuannya makan atau gelar, but its oke itu pilihan hidup mereka, cuman saya bilang ya.. dungu.
Nah menyangkut soal sejarah kebanyakan orang, mau itu mahasiswa atau masyarakat awam tahu sejarah ya dari apa yang diajarkan disekolah aja, kemudian ngerambah ke buku2 mainstream yang dijual di toko-toko buku yang mainstream pula, di tambah google sama Wikipedia dan dari band-band indie yang tidak kalah kurang sama dungunya.
Pointnya pengetahuan mereka itu lurus, buat saya itu dekadensi dan destruktif kenapa ? karena mereka cuman baca apa yang mereka mau baca, mereka selalu nyari makna praktis sama semua keadaan, itu tu naïf, juga cara hidup yang tidak asik, fungsi literasi supaya kita punya banyak komparasi yang tujuannya sejalan dengan tujuan adanya filsafat yang secara harfiah artiannya adalah mencintai kebijaksanaan, supaya kita menjadi pribadi yang bijaksana dalam memandang segala kehidupan.
Nah yang disayangkan rupanya kebanyakan orang itu nyinyir sama orang yang menerapkan epistomologi pada hidup seseorang, either mereka yang menstandartkan diri pada pendidikan setelah menjadi mahasiswa atau mereka yang pada cukup 12 tahun belajar saja.
Maksud saya banyak orang yang anti sama kutu buku, saya tahu karena mereka anti pikiran, kalo kata nietzche kebanyakan orang itu gak mau disuguhi kenyataan karena kenyataan itu merusak ilusi yang sudah mereka cipta, parahnya menurut saya mereka sudah bukan berilusi lagi tapi sudah hidup dengan ilusinya itu sendiri dan itu delusional.
Apalagi kalo mereka mendengar kata filsafat, wah mereka udah kaya kebakaran jenggot aja, bilang filsafat itu bikin gila, orang filsafat itu muter-muter dan filsafat itu gak ada gunanya.
kalo kalian gak ngerti filsafat atau otak kalian gak mampu nyampe sama filsafat gak usah bilang gitu, padahal setelah filsafat ada ilmu yang lebih tinggi lagi, yaitu logika, psikologi sama hermeneutika. apalagi kalo kalian denger ini yah? gila beneran kayanya kalian hehehe...
Nah point urg ini adalah mosi penolakan soal stereotype filsafat dalam pandangan umum, korban dari gagal pahamnya satu orang kemudian argumentum ad populumnya disebarin kemana-mana sampai akhirnya orang denger filsafat udah jadi kaya denger komunis dan yahudi padahal mah gak ada kaitannya sama sekali.
Kalo dirunut kebalakang pembodohan stereotype ini bergerak secara hierarkis dari pemerintah dan masyarakat itu sendiri yang berperan menamankan cara berpikir dunguan itu sendiri, kenapa ? kalo dilihat dari kepentingan pemerintah jelas jika rakyat menjadi cerdas maka pemerintah tidak akan leluasa membodohi rakyatnya itulah kenapa masyarakat kita peringkat bacanya keempat terakhir dari urutan seasia tenggara, apalagi dunia ya? Hahaha miris.
Sekalipun daya literasi ditingkatkan pemerintah, tetep aja seolah-olah publik diarahkan pada suasana pink, novel – novel roman picisan, oke untuk menstimulasi gpp, tapi rupanya kebanyakan orang itu memang malas dan jadi dungu, mereka kaya ogah baca buku komprehensif yaitu tadi gaya hidup khas kapitalis, apa itu ? ya hedonis, yang rupanya ditanamkan oleh para orang tua yang tidak kalah dungunya dengan bilang “jang hirup teh sing benghar” nah keliatan kan, padahal modal untuk benghar itu lain saukur kerja ampe keringat mengucur diantara lubang pantat loh tapi harus juga ada peran kebahagian karena kita merasa happy dengan apa yang kita kerjakan.
Orang yang minim literasi akan minim pula memaknai soal tujuan hidupnya, karena itu tadi tidak ada wujud komparasi real meskipun dalam imaji.
Lihat di sekeliling kita sekalipun mereka bersusah payah dalam kerja mereka miserable msekipun mereka bilang mereka happy karena setelah cape kerja bisa kerestoran untuk ngopi, makan dan mejeng kemudian di upload di instagram sebagai deklarasi aspirasi yang terwujud yang padahal itu palsu !
Ini udah terlalu panjang lebar, saya tutup pake statement gini aja,justru hanya dengan literasilah kita punya daya yang lebih kuat untuk mendorong kesadaran kita untuk mempertanyakan makna hidup dari yang namanya gengsi pada yang namanya fungsi.
Jadi literasi dan tidak pernah menutup diri pada yang namanya edukasi itu memiliki tekanan pada kita agar hidup lebih bahagia dan kaya, yah kekayaan yang bertumpu pada hakikat bukan nafsu.
Karena kebanyakan orang itu hanya senang sebab mereka pake nafsu tapi org yang mampu berpikir kritis hidupnya bahagia sebab mereka terlibat dengan hakikat.
Jadi pesen saya, jangan anti sama yang namanya filsafat atau orang yang kutu buku atau seneng sekali baca buku, lantas bilang orang-orang itu sok pintar dan lain sebagainya apalagi kalo rupanya org2 yang kutu buku itu tidak punya legimitasi “pinter” dari Negara, apa itu ? “Ijasah”.
Just because peoples being smarter than you without legitim stuff from government doesn’t mean they not deserve to be accepted oke, cukup kalian berusaha untuk lebih pintar dari lawan bicara kalian kalo kalian gak mau nerima mereka, itu aja gak usah pake nyinyir oke ? bye.
Comments
Post a Comment