Meretas argument “Berkah dan tidak berkah dinilai dari kuantitas pendapatan” menggunakan Psikologi dan logika.
Ok, Kesibukan sering kali bikin
kita gak bisa curi waktu untuk sekedar mencurahkan isi perasaan yang timbul
karena gaduh di usik pikiran, kenapa ? karena rupanya kegentingan memenuhi
kebutuhan lebih mendesak dari pada memenuhi keinginan, selalu seperti itu, yah
umumnya yang waras kaya gitu, yang kurang waras sebaliknya mendesak keinginan
dipenuhi sebelum memenuhi kebutuhan.
Sering kali kita temuin orang pengen terlihat cerdas dengan ngutip-ngutip idiom-idiom yang lagi ngetren hari-hari ini, semacam apa tuh ? semacam kaya gini “nakal boleh bego jangan” saya pernah bahas itu di postingan sebelum ini, kemudian justifikasi-justifikasi masyarakat yang serba ponggah dalam argument-argumennya, contoh yah, sering kali kita dengar satu dalih rasionalisasi tentang berkah dan tidak berkah diukur dari kuantitas hasil materil.
Kerjaan saya itu driver online atau dengan istilah bahasa Indonesia pelayanan antar jasa melalui aplikasi berbasis online atau by phone internet dengan bahasa yang lebih sederhana lagi yaitu ojeg.
Ok, sering kali jika kedapatan waktu saya break karena agak kelelahan abis narik, kalo lagi gak beruntung saya suka berenti di warung-warung pinggir jalan, yang notabene jaman skrg warung itu udah sering dan banyak ditongkrongin ojeg online, yang menarik dari ketidak beruntungan saya dan mengusik pikiran saya adalah argument atau rasionalisasi juga justifikasi mereka soal berkah tidak berkah satu penghasilan pada suatu hari diukur dari kuantitas pendapatannya hari itu.
Kaya gimana sih statementnya ?
“ Ah narik itu yang penting berkah bukan banyaknya kita dapet uang” katanya, nah dari contoh ini kita bisa nemuin cacatnya logika orang yang mengklaim bahwa penghasilannya yang tidak lebih banyak dari driver lain itu lebih berkah dari pada driver yang penghasilannya lebih banyak dari dia.
Dari mana saya tahu ada fallacy logic dari itu orang ? dari argumennya, sekarang saya balik, terus konsep berkah dan tidak berkah di benaknya kaya gimana ? kalo ditanya kaya gitu mereka bisa bohong bikin alasan untuk dukung argumennya biar kuat, boleh aja itu alibi namanya, cuman bukankah kita sepakati secara insaf bahwa berkah dan tidak berkah itu selevel dengan ikhlas dan tidak ikhlas ya ?
Maksud saya itu ranah dimensi transedental atau ranah dimensi metafisik, hanya hati dan Tuhan itu sendiri yang tahu, bukan kita.
Saya gak berhenti sampai di sana tuh dengerin orang-orang ini ngomong, saya tanya sama orang yang bersangkutan yang punya dalil argument itu, berangkat jam berapa ? saya cuman nanya satu pertanyaan yang cukup fundamental impactnya pada keseluruhan argument orang ini.
Dia jawab lah “ Dua siang” oke, dari sini saja kita tahu bisa langsung tahu ada sentiment di dalam argument yang dibangun soal berkah equals pendapatan, sentiment macam apa ? sentiment menahan kenyinyiran atau iri pada pencapaian orang lain dengan selubung kata halus yang basis argumennya rasionalisasi dalam psikologi, argumentum ad hominem dalam logika.
Kenapa kaya gitu, ya ini orang gak bikin deduksi soal orang lain yang berangkat pagi-pagi sampai malam hari bahkan panas-panasan, hujan-hujanan, untuk dapetin uang terus hanya karena dia tidak lebih rajin atau lebih keras berusaha dari orang lain lantas bikin statemen untuk menenangkan dirinya sendiri bahwa pendapatannya lebih berkah, enak banget kalo gitu, kalo dibiarin argument kaya gini besok-besok dia bisa bilang kalo dia lebih dijamin masuk sorga dari pada yang lain, dari sini aja udah ketahuan ada sentiment tendensi iri, benci, atau nyinyir pada orang-orang yang lebih fight dan rajin.
So dari sini, kadang-kadang masyarakat itu juga tidak punya cukup keberanian untuk supportif pada orang lain dan jujur pada dirinya sendiri, bikin alasan untuk kegagalan itu dungu, nyalahin orang karena gagal itu juga dungu, muji-muji diri karena dia sudah pasti lebih diberkahi itu juga psycho, so terlalu banyak orang-orang yang gak fair kaya gini, saya bisa terangin bahwa orang-orang kaya gini yah pasti dipengaruhi lingkungan sama pengalaman hidupnya, yang bagaimana tuh ? yang korosif yang merusak, yang tidak membangun dirinya sendiri pada jati diri yang positif, nah entu point dari lingkungannya, point dari pengalaman hidup yang bikin orang jadi pesimis tanpa ilmu itu karena kegagalan seseorang pada sesuatu yang umumnya bisa dijaga.
Oke itu tadi kritik saya soal berkah dan tidak berkah, selanjutnya kritik saya pada orang yang nyinyir terhadap prestasi orang lain, dengan idiom pamer boleh, norak jangan. see you next post
Sering kali kita temuin orang pengen terlihat cerdas dengan ngutip-ngutip idiom-idiom yang lagi ngetren hari-hari ini, semacam apa tuh ? semacam kaya gini “nakal boleh bego jangan” saya pernah bahas itu di postingan sebelum ini, kemudian justifikasi-justifikasi masyarakat yang serba ponggah dalam argument-argumennya, contoh yah, sering kali kita dengar satu dalih rasionalisasi tentang berkah dan tidak berkah diukur dari kuantitas hasil materil.
Kerjaan saya itu driver online atau dengan istilah bahasa Indonesia pelayanan antar jasa melalui aplikasi berbasis online atau by phone internet dengan bahasa yang lebih sederhana lagi yaitu ojeg.
Ok, sering kali jika kedapatan waktu saya break karena agak kelelahan abis narik, kalo lagi gak beruntung saya suka berenti di warung-warung pinggir jalan, yang notabene jaman skrg warung itu udah sering dan banyak ditongkrongin ojeg online, yang menarik dari ketidak beruntungan saya dan mengusik pikiran saya adalah argument atau rasionalisasi juga justifikasi mereka soal berkah tidak berkah satu penghasilan pada suatu hari diukur dari kuantitas pendapatannya hari itu.
Kaya gimana sih statementnya ?
“ Ah narik itu yang penting berkah bukan banyaknya kita dapet uang” katanya, nah dari contoh ini kita bisa nemuin cacatnya logika orang yang mengklaim bahwa penghasilannya yang tidak lebih banyak dari driver lain itu lebih berkah dari pada driver yang penghasilannya lebih banyak dari dia.
Dari mana saya tahu ada fallacy logic dari itu orang ? dari argumennya, sekarang saya balik, terus konsep berkah dan tidak berkah di benaknya kaya gimana ? kalo ditanya kaya gitu mereka bisa bohong bikin alasan untuk dukung argumennya biar kuat, boleh aja itu alibi namanya, cuman bukankah kita sepakati secara insaf bahwa berkah dan tidak berkah itu selevel dengan ikhlas dan tidak ikhlas ya ?
Maksud saya itu ranah dimensi transedental atau ranah dimensi metafisik, hanya hati dan Tuhan itu sendiri yang tahu, bukan kita.
Saya gak berhenti sampai di sana tuh dengerin orang-orang ini ngomong, saya tanya sama orang yang bersangkutan yang punya dalil argument itu, berangkat jam berapa ? saya cuman nanya satu pertanyaan yang cukup fundamental impactnya pada keseluruhan argument orang ini.
Dia jawab lah “ Dua siang” oke, dari sini saja kita tahu bisa langsung tahu ada sentiment di dalam argument yang dibangun soal berkah equals pendapatan, sentiment macam apa ? sentiment menahan kenyinyiran atau iri pada pencapaian orang lain dengan selubung kata halus yang basis argumennya rasionalisasi dalam psikologi, argumentum ad hominem dalam logika.
Kenapa kaya gitu, ya ini orang gak bikin deduksi soal orang lain yang berangkat pagi-pagi sampai malam hari bahkan panas-panasan, hujan-hujanan, untuk dapetin uang terus hanya karena dia tidak lebih rajin atau lebih keras berusaha dari orang lain lantas bikin statemen untuk menenangkan dirinya sendiri bahwa pendapatannya lebih berkah, enak banget kalo gitu, kalo dibiarin argument kaya gini besok-besok dia bisa bilang kalo dia lebih dijamin masuk sorga dari pada yang lain, dari sini aja udah ketahuan ada sentiment tendensi iri, benci, atau nyinyir pada orang-orang yang lebih fight dan rajin.
So dari sini, kadang-kadang masyarakat itu juga tidak punya cukup keberanian untuk supportif pada orang lain dan jujur pada dirinya sendiri, bikin alasan untuk kegagalan itu dungu, nyalahin orang karena gagal itu juga dungu, muji-muji diri karena dia sudah pasti lebih diberkahi itu juga psycho, so terlalu banyak orang-orang yang gak fair kaya gini, saya bisa terangin bahwa orang-orang kaya gini yah pasti dipengaruhi lingkungan sama pengalaman hidupnya, yang bagaimana tuh ? yang korosif yang merusak, yang tidak membangun dirinya sendiri pada jati diri yang positif, nah entu point dari lingkungannya, point dari pengalaman hidup yang bikin orang jadi pesimis tanpa ilmu itu karena kegagalan seseorang pada sesuatu yang umumnya bisa dijaga.
Oke itu tadi kritik saya soal berkah dan tidak berkah, selanjutnya kritik saya pada orang yang nyinyir terhadap prestasi orang lain, dengan idiom pamer boleh, norak jangan. see you next post
Comments
Post a Comment