Social interest


Datang menuju pernikahan teman bukanlah momok yang menakutkan bagi seorang penyendiri seperti saya, karena motifnya saya enggan bertandang pada acaranya itu lebih pada alasanya, atau pada landasan prinsipilnya soal  apa yang harus saya pegang untuk suka rela datang kesana.
pertanyaan seperti “kapan nikah ?”  atau “kenapa masih sendiri ?” bukan hal yang patut ditakuti.

Yang selalu jadi momok untuk saya adalah motif dan dasar apa yang bisa membuat saya dengan sukarela datang pada acara pernikahan teman ? 

jika kehadiran saya pada pernikahan teman adalah bentuk dari ikut berbahagia atas suka cita teman dan sebagai pengejawantahan doa atas apa yang di capai teman itu berarti saya tidak perlu datang, karena saya gak dapet bonus apa – apa dari bertingkah seperti itu kan ? berdoa bisa dimana saja dan kapan saja, justru dengan bertingkah seperti itu nampak membuat saya agak munafik , saya gak ngerasa bahagia juga gak ngerasa sedih juga gak ngerasa benci atau suka atas apa yang saya lihat dan atas apa yang terjadi disekeliling saya, saya hanya tidak merasakan apa – apa.
           
           Toh kalo di fikir – fikir, justru undangan untuk para orang – orang yang dikenal adalah sebagai penjamin bahwa semua uang yang dikeluarkan untuk pernikahan akan pasti diganti teman – teman yang mereka undang ke acara pernikahan mereka atas dasar kesukarelaan atau bentuk fisik dari doa mereka untuk si pasangan yang tengah berbahagia.
nah sebagai pengalih isu dari fakta itu mereka mempersilahkan para undangan untuk bersantap ria sambil menyaksikan biduan dangdut melengak – lengok ditengah panggung.
           Jadi mungkin alasan prinsipilnya saya datang menuju acara pernikahan teman adalah makan enak dengan harga yang cukup relatif, kenapa relatif karena uang dalam amplop tak selalu berbanding lurus dengan lauk dan nasi yang kita raup dalam piring.
           dan  karena kondisi manusia itu selalu dalam ambang kemunafikan mereka yang menyumbang uang besar akan gengsi jika menumpuk makanan dalam piringnya meskipun mereka tahu bahwa mereka berhak atas porsi besar mengingat seberapa besar mereka menyumbang.
dan mereka yang   tidak besar sumbangannya justru melihat celah untuk makan besar dan enak dengan biaya yang murah, orang – orang seperti ini tak kenal harga diri yang penting perut isi.

jadi alasan apa kemudian yang membuat saya harus datang ? Padang dengan harga murah atau bentuk keterlibatan dari rasa suka cita ? ughhh people…

Comments

Popular posts from this blog

"Pemrograman sebagai Filsafat Bahasa Tingkat Tinggi: Perspektif Seorang Lulusan Sastra Inggris yang Terjun ke Dunia Teknologi"

Komputasi, Lingustik, dan Dasein ala Heidegger

Terbentur, terbentur kemudian terbentuk: the experiences of daily activites at UKRI