You can be miserable as much as you want, if your misery has a meaning for your suffering
Dalil Schopenhauer mengatakan bahwa “alaminya dunia selalu
mempersiapkan lebih banyak penderitaan dari pada kesenangan, dan manusia tidak
bisa lari atau sekedar keluar dari dunia itu”. kemudian bantahan datang
dari Nietzche atas premis dari Schopenauer “bahwa bukanlah dunia yang sudah kacau itu sendiri yang menjadi sumber
penderitaan bagi manusia, namun ketiadaan
makna dari mengapa manusia harus
menderita itu sendirilah yang membuat manusia menderita”.
Berarti
sejatinya penderitaan bisa menjadi pembenaran yang melandasi jalan
hidup seseorang jika penderitaan itu memiliki makna. Kemudian dewasa
ini semua kecemasan eksistensial ini menguap serta mengudara yang perlahan
menjadi rintik hujan yang membasahi seluruh umat manusia, tidak memandang bulu
dan menghantam semua lapisan masyarakat saat ini. Kemudian pertanyaan lain
diajukan hati nurani pada pikiran yang kian hari kian tidak kunjung membaik,
mengapa tidak memilih tidak menderita? Lantas jawaban terucap, karena apa
artian dari tidak menderita itu sendiri? Saya bisa jawab dengan jawaban
diplomatis yaitu rasa tenang.
Kemudian
dua frasa itu menjadi pertanyaan baru, lantas apa definisi dari rasa tenang? Sedangkan
setiap definisi dari konsep tunggal kata tenang itu sendiri bagi setiap manusia
bisa berlainan, apa jaminan atau konsensus yang bisa dipegang siapapun bagi
mereka yang mencoba meraih ketenangan jiwa jika disodorkan pertanyaan filosofis
semacam itu ? bagi mereka yang merasa sudah memiliki segalanya namun merasa
kehausan maka ketenangan bagi mereka adalah air minum yang mampu melepas
dahaga, benar bukan? Maka setiap definisi sudah barang tentu bakal jadi
berlainan, dan semua orang tidak punya konsensus yang bisa dijadikan patokan
umum atau legalitas dalilnya tidak mengikat secara majemuk namun sarat akan
nilai-nilai kepentingan individual.
Jika
saya tarik kemudian premis diatas bahwa penderitaan bisa menjadi pembenaran
jika derita itu memiliki makna, maka apakah menderita demi seseorang yang kita
kasihi itu bisa dikatakan memenuhi secara total tentang syarat konsep tunggal
dari kata tenang itu sendiri? Bisakah? Saya rasa bisa mengapa karena demi
menjamin seseorang itu tetap bersama kita dan menjaminkan sesuatu pada yang
mengikat seseorang itu sendiri agar tenang maka sekalipun melewati penderitaan,
kita bisa mendapatkan ketenangan meski menderita. Namun penderitaan tersebut
adalah penderitaan yang bermakna.
Comments
Post a Comment