Review Mark Manson Bab 3 : Sebuah Seni Untuk Bersikap Masa Bodoh - Anda Tidak Istimewa
Hari-hari ini ada semacam pembenaran yang begitu populis bagi
masyarakat modern saat ini, ketika banyak orang berasumsi bahwa mereka memiliki
penyakit mental dan menyatakannya melalui banyak platform yang tersedia untuk
menjadi landasan pembenaran bagi mereka agar supaya mereka diterima/diberikan
konpensasi toleransi atau dengan kata
lain tidak terlalu dianggap menjadi suatu beban bagi yang lain demi kepentingan
mereka . bahwa mereka begitu, karena mereka berpenyakit mental. Padahal sejatinya
saya pikir bukanlah penyakit mental, namun lebih kepada ketidak mampuan diri
sendiri mempadu-padankan diri mereka sendiri dengan keadaan yang selalu
berubah.
Bab
tiga milik Mark Manson yang baru-baru ini saya baca ulang jelas mengambarkan peristiwa-peristiwa
tersebut yang semakin kentara terasa dan terlihat hari ini , tentang kisah
jimmy dan pengalaman masa kecilnya dulu menggambarkan bahwa kurangnya perhatian,
dukungan dan rasa kasih sayang bisa amat
sangat berpengaruh besar dalam hidup seseorang. Jimmy yang akhirnya menjadi
seorang pembohong delusional yang mahir membolak-balikan fakta dan tetap hidup
dengan apa yang dia yakini bahwa itu adalah sebuah kebenaran, kemudian Mark
juga yang akhirnya menjadi seorang pecandu seks karena kegagalan-kegagalan di
masa lalunya membuat kedua karakter ini sama-sama dirundung hidup yang
memilukan.
Yang
bisa dilihat saat ini adalah koherensi penyakit mental masal yang terjadi dewasa
ini yang menimpa kaum muda adalah berangkat dari dua hal yang sama :
keinginan/hasrat untuk diterima dan penghargaan diri yang terlalu berlebihan, membuat
para kaum muda yang paling amat sangat terlibat di dunia yang modern
jelas-jelas menjadi semacam the
survival bagi zamannya sendiri. Sebenarnya di pandang dari sudut
pandang psikologi terapeutik, keinginan untuk diterima dan penghargaan diri
adalah hal yang wajar dan baik, jika dilakukan dengan cara yang tepat dan dalam
psikologi itu disebut aktualisasi diri, namun jika semua hasrat itu tercurahkan
dalam cara-cara yang kurang tepat maka semua variable pembentuk citra yang
ingin dibentuk oleh seseorang hasil dari semua konversinya menjadi negatif atau
kurang tepat/buruk. Maka mark manson di sini menawarkan suatu solusi bahwa
yakinilah tentang suatu hal bahwa kita tidak istimewa .
Kemudian
apa rupanya yang membuat kita menjadi tidak istimewa? Adalah keinginan kita
untuk unggul dalam segala hal. Padahal faktanya setiap kita memiliki
kapasitas-kapasitas tertentu dalam hanya beberapa hal saja, tidak dalam semua
hal kita kompeten dan kompatibel di dalamnya. Lantas pertanyaannya mengapa
kemudian saat ini banyak sekali kaum muda yang begitu depresi dan tertekan
dengan keadaan? Jawabannya hanya satu, yaitu algoritma. Mengapa kemudian
algoritma menjadi satu pangkal besar masalah yang serius bagi kaum muda? Karena
algoritma memaksa manusia sekarang ini pada satu wujud yang sama. Kenapa kita
pada umumnya begitu sangat amat terhisap oleh enerji algoritma, karena kita masuk
dalam sistem data akuntabilitas melalui jaringan internet. Dari sini kita bisa
melihat pangkal utama permasalahan mulai bisa diurai.
Permasalahan
pertama adalah ketika teknologi dan internet menjadi sesuatu yang mewadahi
segala macam nilai-nilai baik bercampur dengan cara yang amat sangat rumit
untuk dijabarkan dan dipilah-pilah, faktanya sekalipun semuanya bisa diurai dan
dipilah, cemoohan dan pelecehan selalu saja tetap ada. Meskipun teknologi
menjadi problem solving untuk ekonomi pada masa lalu namun faktanya teknologi
menjadi masalah psikologis baru bagi kita saat ini. Apa kemudian relasi antara algoritma platform
media sosial dan pengalaman traumatis yang membentuk kepribadian kaum muda saat
ini menjadi rapuh ? ialah fakta bahwa standar kenormalan baru yang tercipta
adalah bias konformitas yaitu sesuatu yang dianggap benar dan ideal hanya
karena kebanyakan orang melakukan hal yang dianggap benar dan ideal dalam
masyarakat sekalipun barangkali kebenaran itu bukan kebenaran yang sejati.
Saya
beri satu analogi jika menjadi keren adalah dengan memiliki smartphone bermerek
buah apel maka siapapun yang tidak memiliki smartphone bermerek tersebut
bukanlah orang yang keren, dan ketika orang yang tidak mampu menuju pada
standar baru mengenai keren ini, dia akan merasa diri teralienasi dari
lingkungan dan merasa rendah diri. Itu salah satu contoh dan analogi yang bisa
saya berikan yang kemudian bisa kita tarik pada kasus-kasus apapun. Padahal faktanya
tidak semua orang berhasil dalam segala hal, mereka yang berhasil pada satu hal
yang kita anggap luar biasa bisa jadi gagal dalam hal-hal tertentu dan kita
tidak pernah tahu. Kebiasaan membandingkan diri sendiri dengan orang lain
sekarang menjadi sebuah kebudayaan baru di masyarakat modern, yang luput di
sadari adalah ketidak sadaran kita bahwa kebiasaan itu bisa mengikis dan membelah
kepribadian kita. Dari sanalah rasa ingin diterima dan mengistimewakan diri
sendiri tumbuh . dan media jenis apapun platformnya menjembatani keresahan buta
mereka dan membuat kaum muda menjadi orang-orang pengidap penyakit narsistic
problem disorder. Padahal sejatinya tidak ada yang disebut dengan masalah
personal karena bisa jadi semua masalah itu akan atau telah pernah di alami
oleh orang lain. Hanya saja cara kita menerima kenyataan hidup itu sendiri yang
membuat hasilnya nampak berbeda.
Baru-baru
ini dalam beberapa jurnal sosiologi para professor mengatakan bahwa kita lebih
banyak melahirkan generasi berkualitas sampah, karena kaum muda menjadi kurang
gigih, kurang mampu memiliki ketahanan emosional yang stabil dan dominannya
kebutuhan yang egois untuk dipenuhi sesegera mungkin. Banyak aspek yang melatarbelakangi
kenapa kaum muda atau yang disebut milenial ini menjadi seperti itu, salah satunya
adalah platform media sosia.
salah
satu aspek buruk dari teknologi tersebut memawadahi setiap orang untuk
meluapkan rasa ketidaknyamanan terhadap segala kejadian yang melibatkan
dirinya. Yang pada akhirnya semakin dibebaskan kita oleh platform tersebut, akhirnya
media itu membentuk semacam gap bagi siapapun untuk memilah-milah siapa yang
layak dia atau kita rangkul dan mana yang boleh kita jauhi/buang. Inilah efek samping sosial yang ditimbulkan
oleh kemajuan teknologi, yang selain membebaskan dan mendidik juga membuat kita
terdorong untuk jadi lebih banyak merajuk dan menuntut pengistimewaan.
Selain
itu memiliki banyak akses dari semua platform media sosial rupanya tidak
membuat kita jadi lebih bijaksana dan memiliki segala macam pengetahuan secara
adekwat, karena faktanya semua informasi yang kita anggap utuh itu rupanya
hanya kepingan informasi yang hampir 99,999 persen isinya hanya potongan, artinya
bahwa kita rupanya malah mengkonsumsi lebih banyak sampah dari pada esensi dari
setiap apa yang kita lihat dan dengar setiap hari. Nah dan dari ini semua kita
didorong masuk menuju kurva lonceng pengalaman manusia, non-stop setiap detik,
setiap kita schrol layar kaca smartphone kita, yang mana ini kemudian membuat
kita menjadi malah semakin membandingkan diri sendiri dengan orang lain atau
merasa rendah diri. Yang rupanya kemudian kita adalah korban algoritma politik
ekonomi media masa yaitu uang.
Menjadi
rata-rata adalah sebuah standar baru kegagalan karena menjadi luar biasa adalah
standar baru keberhasilan, padahal faktanya kita tidaklah perlu merasa takut
dan merasa rendah diri jika kita pada kenyataannya memang biasa-biasa saja karena jalan hidup dan
pengalaman manusia begitu berbeda satu sama lain, meskipun variable pengalaman
dan kejadiannya sama namun hasil konversi dari segala sesuatunya pasti akan
berlainan tergantung pada respon setiap kita dalam menghadapi segala macam
kejadian, dalam hidup kita masing-masing. Maka sebaiknya berorientasilah pada
makna yang lebih sederhana semisal, pada perbaikan diri yang lebih subtil dan
fundamental yaitu dengan mensyukuri hal-hal yang kecil yang bisa sangat
berdampak amat besar pada kehidupan kita .
Comments
Post a Comment