Are we functionally illiterate ?

Semejak pandemi segala aktifitas kita dibatasi, bahkan sekalipun harus bepergian kita diharuskan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab untuk selalu menjaga protokol kesehatan. itu juga yang terjadi pada saya bahkan mungkin saya pikir bahwa tidak ada juga orang yang mau keluar seperti biasanya. saya meliburkan semua kegiatan-kegiatan yang biasanya saya jalani bermain musik bareng sahabat SMA dan berkunjung ke komunitas-komunitas baca di bandung.

Salah satunya kegiatan yang paling saya suka dari dua yang saya sebut di atas adalah berkunjung ke Club baca Asian African Reading Club atau Grup baca buku psikologi di UPI, biasanya setiap hari rabu sore saya sudah pasti hadir di acara yang selalu menambah wawasan dan juga pengalaman mental dari tiap kalimat dari buku yang kita baca secara nyaring sedang yang lain mendengarkan. namun semenjak pandemi kegiatan ini sempat terhenti kemudian menjadi virtual jadi tetap ada hanya saja saya yang tidak lagi sering terlibat, karena saya sendiri ada ke khawatiran soal virus corona yang ternyata makin hari makin nyata dampaknya.

Terlepas dari semua itu, sisi baik dari pandemi bagi saya adalah saya jadi lebih produktif kuliah, bekerja dan membaca buku, dari buku parenting sampe buku pengantar filsafat hukum. kemudian beberapa hari yang lalu saya menyapa sahabat saya dan saling bertanya soal kabar masing-masing dll, sampe pada satu pertanyaan, dia bertanya tentang "mengapa kita harus baca buku?" tanya sahabat saya dengan serius. maka saya jawab bahwa sejatinya kebanyakan dari kita sebagai manusia khususnya di indonesia pada dasarnya functionally illiterate. Saya jelaskan pada teman saya apa itu funcionally illiterate dengan cara yang paling sederhana. bahwasanya istilah itu merujuk pada buta huruf secara fungsional artinya bukan soal kegiatan membacanya tapi soal kemampuan seseorang untuk memahami apa yang telah atau sedang dibacanya.

Bahkan pernah ada laporan dari world bank's Indonesia Economic quarterly report edisi juni tahun 2018 dikatakan bahwa most indonesian people are functionally illiterate, itulah faktanya bahkan sebelumnya PISA pernah melakukan survey sejak tahun 2014 hingga 2015 dengan 7.229 responden di jakarta bahwa kemampuan membaca dan menulis orang-orang dengan rentang umur 16 - 65 adalah di level 1 dan hanya 5.4% yang memiliki kemampuan tingkat baca level 3 dan 1 % yang memiliki kemampuan membaca di level 4 & 5.


Setelah mengetahui fakta ini, kita jadi jelas-jelas tahu penyebab segala kesemerawutan di media sosial dan dunia nyata adalah kemampuan berbahasa (berkomunikasi) dan pemahaman berbahasa (menerima informasi)  itu sendiri sangat kurang, etika dan norma seolah hanya jadi sekedar slogan saja. disebabkan karena tidak mengakar dan membudayanya budaya membaca. karena biasanya orang - orang yang jauh dari bacaan mereka cenderung picik dan dangkal secara pikiran, kemudian mudah terhasut, over sensitive dan tak punya pendapat pribadi yang kuat / reasonable objective. Dan sebaliknya, mereka yang terbiasa dengan kegiatan membaca buku biasanya berwawasan luas, skeptis, toleran, dan memiliki pendirian.

Jika melihat dari sejarah kita sudah tertinggal 5 abad lebih sejak demokratisasi literasi digaungkan pada abad ke 17, kita sendiri tahu bahwa abad itu adalah masa renainsance/ aufklarung/ self-centered/ antropocentris/ zaman yang lebih mengedepankan keberdaulatan individu termasuk kebebasan untuk memilih pengetahuan di dalamnya. maka selain menjadi budaya kegiatan membaca rupanya menjadi paradigma umum bagi masyarakat di luar sana. sedangkan bangsa indonesia sedang memasuki awal masa kelam penjajahan belanda di indonesia. namun seharusnya kenyataan ini tidak lantas dijadikan alasan bahwa kita terlambat karena alasan ini dan itu, justru sudah sepatutnya kita melakukan hal yang serupa seperti yang dilakukan orang-orang kulit hitam yang ingin melakukan self-reconstruction atau pengubahan stereotype sebagai budak dengan berupaya mendidik diri sendiri dan alternatif lain bila pendidikan formal sulit diraih membaca buku adalah salah satu jawabannya.

kemudian  bagi mereka yang sudah memiliki kebiasaan membaca sebagai hobby maka sebaiknya kegiatan membaca juga adalah sebagai bentuk pematangan kepribadian. karena keuntungan dari kegiatan membaca itu sendiri adalah informasi, kendati pun demikian informasi bukanlah yang utama karena esensi dari membaca adalah menilik point formatifnya, apa itu ? membentuk nalar kita. toh secara harfiah ketika kita membaca buku yang kita cari memang informasi karena buku adalah gudang ide atau kumpulan gagasan-gagasan. lalu buku juga adalah peta peradaban yang luas untuk pergi menuju pendalaman yang dalam sebagai sumber pengetahuan dari kompleksitas dimensi pengalaman manusia.

Bahkan yang lebih mencengangkan bahwa nilai formatif dari membaca adalah mengaktifkan syaraf otak neuroplastis untuk mempertajam kemampuan analitis & kritis. dan dengan membaca rupanya memperkomplex jaringan sinaptik di neuroplastis otak kita.

Membaca sekalipun fiksi / novel membuat kita merasakan apa yang dirasa orang tanpa merasakannya (apriori) artinya bahkan bila seumpama kita bergaul di kolam para filsuf membuat kita mengerti dan memahami ke filsufan. kemudian membaca itu berarti memperbaiki keterampilan berbahasa dan komunikasi, melatih konsentrasi dan fokus, memperkuat daya ingat dan yang paling penting menambah empathy rasa kemanusiaan.

Nah kurang lebih seperti itulah percakapan saya dengan sahabat saya membicarakan pentingnya budaya membaca hingga sampe lupa waktu bahwa waktu sudah larut malam, dan kegiatan berdiskusi seperti ini harusnya juga dibiasakan meskipun mungkin by phone atau zoom yah utamanya sebagai penghilang rasa bosan saat pandemi masih berlangsung dan berangsur semakin ganas.
 

Comments

Popular posts from this blog

"Pemrograman sebagai Filsafat Bahasa Tingkat Tinggi: Perspektif Seorang Lulusan Sastra Inggris yang Terjun ke Dunia Teknologi"

Komputasi, Lingustik, dan Dasein ala Heidegger

Terbentur, terbentur kemudian terbentuk: the experiences of daily activites at UKRI