Review Film Green Book
Sebuah film berjudul green book, dibintangi aktor kulit hitam yang saya tahu
pertama kali aktor ini lewat serial tv true detective season 3. Film green book
menceritakan tentang perjalanan tour seorang dokter di bidang musik bernama
dr.Shirley dan supirnya yang bernama Tony lip atau tony vallelengga. Dia awal film kita disuguhkan tentang
kehidupan Tony lip yang bekerja sebagai “Public Relation” / orang yang mampu
diandalkan dalam segala situasi di sebuah hotel. Namun sayangnya karena suatu
hal hotel tempat dimana tony bekerja harus ditutup selama dua bulan dengan
alasan renovasi dan membuat tony menganggur untuk beberapa waktu.
Karakter Tony sendiri lebih
mengarah pada orang yang sulit diatur, terus terang dan cenderung suka
menyelesaikan masalah dengan kekerasan fisik,politis dan sinis. Bahkan di awal
film Tony terlihat begitu amat sangat menunjukan sentimen rasisme pada
orang-orang kulit hitam.
Di
tengah kerumitan dan kesulitan mencari pekerjaan Tony ditawarkan pekerjaan
untuk menjadi seorang supir dari seorang dokter bernama Shirley untuk
menemaninya tour musik. Singkat cerita tony bertemu dengan dr.Shirley di
wawancarai seditail mungkin tentang pengalaman dan dalam kapasitas penugasan
seperti apa yang dia lakukan selama ini dia bekerja. Setelah negosiasi yang
alot tentang dr.Shirley yang bukan hanya buth seorang supir tapi lebih ke
personal asisten. Tony menolak karena tidak mau diperlakukan seperti itu, dan
dr.Shirley hanya mengucapkan terima kasih karena sudah mampir untuk berkunjung di
wawancarai.
Yang menarik disini, dr.Shirley begitu amat sangat menjaga
wibawanya (Belakangan kita akan tahu mengapa begitu) tampilannya begitu
eksentrik, artistik dan gaya berbicaranya yang terdengar well educated. Kita bisa
lihat contohnya ketika dr.shirley mengdeskripsikan bahwa Tony adalah orang yang
“innate ability to handle trouble” padahal mungkin dan terlihat dari bahasa
tubuhnya dr.Shirley ingin mengatakan soal tingkah laku, namun memilih pilihan
kata yang lebih appropriate untuk diucapkan.
Setelah
scene itu kita justru ditunjukan bahwa sebenarnya tony tidaklah rasis, tony itu
adalah orang yang opportunis, karena jika kalian semua sudah menyaksikan film
ini, film ini menujukan pada kita bahwa amerika itu negara yang pluralis. Ada
orang india, Tionghoa,kulit hitam, italia dan tentu orang kulit putih bahkan
multi lingual bahasa yang digunakan di film ini, dan Tony berteman dengan
mereka.
Perhatikan
juga backgsound musik yang dimainkan di film ini, hampir semuanya musik blues,
musik yang mewakili orang-orang kulit hitam. Meskipun disekitar tahun 1962 amerika
sedang diinvasi oleh musik dari inggris (The beatles), dan blues yang makin
ramai seperti jimi hendrix, janis joplin, bob dyaln dan kawan-kawan.
Sikap
dan pembawaan dr.Shirley yang begitu menjaga wibawa dan martabatnya terlihat
menggelikan bagi saya ketika di awal-awal film, alasannya karena saya jadi
ingat tentang feodalisme dari bangsawan-bangsawan indonesi di zaman dahulu yang
bahkan sikapnya masih terbawa sampai sekarang. Akan tetapi semua jadi nampak
tidak begitu membuat kesal karena Dr.Shirley mengapresiasi apa yang dikerjakan
oleh asisten apartemennya, ketika mengucapkan “Terima kasih” setelah dilayani.
Membahasa film ini bukan hanya membahas soal isu rasial saja
tapi soal self-reconstruction, internalisasi, dan cross
cultural understanding, lebih dari itu bahkan ada beberapa adegan yang
seolah-olah sinematograpi membantu kita menangkap apa yang tidak bisa terucap
secara eksplisit.
Contoh ketika Tony melihat
Shirley yang sendirian termangu di balkon penginapannya meskipun tony dengan
latar belakang militernya yang membuat perangainya terkesan seolah bukan orang
yang punya empati, dia berusaha menerawang apa yang sedang dipikirkan dan
dirasakan Shirley bila kita melakukan pendekatan phenemonology “verstehen”
ala martin
heidegger yaitu Tony mencoba memasuki ruang-ruang sepi,menghayati apa
yang dirasakan dan dipikirkan Shirley. Bahkan kejadian ini dituliskan dalam surat
kepada istirnya tentang Shirley itu sendiri bahwa menurutnya “That’s what
geniusses do” think abstractical.
Di konser
pertama kita mengetahui bahwa Dr.Shirley adalah lulusan dari psychology, music
and liturgical arts. That’s why Shirley begitu berwibawa ternyata dia adalah
orang terdidik. Yang menarik dari konser pertama di dalam film ini adalah Tony
tidak percaya atas kemampuan Shirley, bahkan Tony menerangkan arti kata
Virtouso pada orang disebelahnya yang sama-sama menyaksikan apa yang Shirley
lakukan di depan pianonya, bahwa kata itu berarti “Really Good” dan Boom! Tony
terkejut dan terkesan dengan permainan Shirley hingga mengatakan permainannya
lebih hebat dari beluci (I don’t know who is this man).
Seiring
perjalanan waktu dua karakter ini saling mempelajari satu sama lain, kebiasaan
mereka, cara berpikir mereka, dan perasaan mereka. Ini terlihat jelas saat
Shirley mencoba memperingatkan Tony tentang keharusan mengganti nama, pemilihan
kata, intonasi hingga sampai infleksi/perubahan suara. Sampai-sampai Shriley
keheranan atas sikap Tony yang selalu mengkritik apapun. Shirley begitu paham
soal-soal diksi dan pengaruhnya terhadap seseorang, diksi dan maknanya pada
sesuatu, diksi dan pengaruhnya pada sesuatu. Contoh mengenai ini adalah ketika
Shirley mengatakan bahwa nama Tony lip terdengar (dia ingin mengucapkan kata
yang kasar) tapi dia berpikir ulang dan mengatakan dalam kata yang lebih
pantas. Itu bentuk pengendalian diri yang sangat apik dari seorang yang mengaku
terpelajar. Contoh-contoh lain ialah
saat membahas salty, lip, colored guys, orphan, orpheus dan kata-kata kasar
lainnya, shirley begitu amat sangat sadar tentang setiap kata yang terucap
merepresentasikan siapa kita sebenarnya.
Tony
dengan pengalaman militernya dan Shirley dengan pendidkannya membuat film ini
nampak begitu menarik untuk terus disaksikan, perspektif mereka soal social
judgements sangat menarik, karena bagi Tony dia sama sekali tidak peduli dengan
apa yang dipikirkan kebanyakan orang, sedang Shirley benar-benar peduli
terhadap penilaian orang lain terhadap dirinya (Self-reconstruction).
Apa yang dilakukan Shirley bisa
dirujuk pada teori self-reconstruction of guilt-streotype yang pernah saya baca tentang suatu jurnal
yang membahas melalui penelitian tiga sastra fiksi yang populer di amerika
kite-runner (2003), Tony morrison’s in beloved (19870 dan Nathenial Hawstron in
scarlet letter (1850) artinya apa? Jika saya meminjam istilah yang pernah
dikatakan Paulo Freire tentang internalisasi diri di buku pendidikan
kaum tertindas (terbitan LP3S) Shirley sedang mengubah / bertingkah
seolah dirinya menjadi orang kulit putih berdasarkan pengalamannya.
Rupayanya semua ini memiliki reasons yang
mendasar bahwa dulu dia disekolahkan di sekolah musik terbaik dan terkenal bagi
orang-orang kulit putih maka secara otomatis manner orang-orang kulit putih
terbawa pada keseharian Shirley.
Selesai acara pertama Tony
kedapatan sedang berjudi dengan orang-orang kulit hitam, dan Shirley nampak
amat begitu tidak senang dengan apa yang dilakukan Tony, yang menarik disini
setelah sedikit perdebatan ada perkataan yang begitu mampu membuat tony
bungkam, bahwa bagi orang-orang kulit hitam situasi seperti itu tidak bisa
mereka hindari tapi bagi Shirley, Tony itu bisa. Dari sini saja kita melihat
bagaimana sebegitu sadarnya Shirley tentang Free will (Kehendak bebas /
Pilihan - Nietzche tentang Ubersmench ) dalam hidup manusia, So well
educated. Shirley menekankan pada Tony
bahwa tony harus lebih bisa menghargai dirinya sendiri sebagai seorang individu.
Dari mana kesadaran Shirley mengatakan hal demikian dari pengetahuannya
mengenai Stereotype, takdir dan jejak masa lalu kelam bangsa kulit hitam
sebagai budak yang sulit akan dirubah. “But you did” dengan jari telunjuk yang
mengarah pada wajah Tony. Savage moment.
Shirley membahas nama Tony lip
dan keduanya memiliki perspektif yang berbeda, shirley yang amat sangat peka
terhadap bentuk perundungan verbal dan tidak adanya perbedaan maknanya dikotomi
antara “Liar” dan “Bullshiters”.
Di beberapa adegan bahkan Shirley
begitu amat sangat menjunjung tinggi integritas nilai-nilai moral soal etika,
ini terjadi pada scene mencuri batu mereka berdebat hebat agar tony membayar
apa yang dia curi agar dia merasa lebih baik. Begitu amat sangat tanpa kompromi
Shirley dan begitu amat sangat bisa kooperatif Tony, epik sekali. Kendati pun
demikian Tony adalah orang yang bertanggung jawab terhadap apa yang sudah
ditugaskan padanya. Contoh ini bisa kita lihat ketika adegan office boy yang di
tampar tony karena tidak mau membersihkan piano yang berserakan sampah di
dalamnya.
Setelah sekian lama mereka mulai
saling mau terbuka saling bercerita tentang masa lalu (Saudara dan pernah
menikah ) bagi Shirley. Tony dengan pandanganya tentang hal-hal yang berbau
sexiest. Yang menarik disini Shirley bahkan melihat Tony dalam beberapa sikap
mirip mantan istrinya yang memiliki hati yang baik tapi kacau dalam struktur
gramar dalam bicara dan menulis.
Mereka mulai akrab satu sama lain,
bahkan adegan lucu adalah ketika Tony memaksa Shirley yang begitu amat sangat
penuh aturan dalam hal etika menyantap makanan memaksa Shirley untuk menikmati
Fried Chicken, orang kaku seperti shirley akirnya bisa bersikap sedikit lebih
santay dan menyenangkan. Ini adegan paling lucu di sepanjang film bagi saya. Dan
di beberapa adegan selanjutnya ketika Shirley mengajarkan tony soal bagaimana
sebaiknya menulis surat dengan cara yang baik. Begitu bagusnya film ini
menampilkan perubahan dan perkembangan karakter-karakternya ini patut di acungi
jempol, sebagai contoh ketika Shirley meminta maaf atas perkataan kasarnya pada
Tony yang sudah membantunya keluar dari masalah tidak senonoh di kolam renang,
dan tony mengatakan “Don’t worry about it, i understand that a complicated
World”. See pilihan kata yang dipilih Tony berubah.
Kembali lagi ke issue soal
internalisasi diri, Tony tak percaya bahwa Shirley tidak mengenal musik-musik
hits yang diputar di radio. Bahkan saking tidak percayanya tony mengatakan “These
are your people” inilah yang saya tangkap ketika menyaksikan bahasa tubuh
Shirley yang seolah menghindari pertanyaan-pertanyaan itu karena lebih memilih
menjatuhkan cintanya pada musik-musik orang kulit putih. Begitu kental nuansa
internalisasi diri di sini.
Bahkan sampai ada pada suatu
adegan bahwa tony mengatakan “That i am blacker than you” karena tony tahu cara
makan orang-orang kulit hitam, menyukai musik-musik orang kulit hitam dan
lain-lainnya. Namun Shirley selalu menekankan bahwa dia adalah outliner atau
pengecualian dari kaumnya, Shirley menolak untuk digeneralisasi. Jadi sebenarnya
Tony tidak rasis namun kebanyakan orang-orang kulit putih lah di film itu yang
rasis.
Ke-naifan seorang Shirley tentang
issue rasial tergambar pada adegan ketika shirley alih-alih paham tentang
sentimen pada orang-orang kulit hitam yang berdandan seperti orang kulit putih,
shirley malah mepertanyakan soal geograpi suatu lingkungan. It’s silly but
funny.
Seiring berjalannya waktu mereka
berdua semakin akrab dan saling memahami satu sama lain, Tony yang menencourage
Shirley untuk berani berkarya dengan karya sendiri dan Shirley mendorong Tony
untuk lebih bisa bersikap tidak kekanak-kanakan dengan selalu berusaha
menyelesaikan masalah dengan kekerasan. Yang
membuat saya merinding adalah ketika Shirley menceramahi Tony tentang Dignity /
Martabat, harga diri, kehormatan bahwa bahasa dan kecerdasan juga mampu
menyelesaikan masalah.
Hebatnya kekukuhan idealisme
Shirley tentang nilai moral semakin dikukuhkan ketika hasil kecerdasan dan
kemampuan berbahasanya mampu membuat Shirley dan Tony berhasil keluar dari
kurungan melalui relasi kuasa atas jasa Bobby kenedy. Bagi shirley menyaksikan
bawahan polisi dihardik oleh atasan polisi setempat adalah “Humiliation” atau
menyaksikan orang yang sedang dipermalukan adalah tidak baik.
Di ujung akhir dari tour Shirley
setelah perdebatan panjang soal moralitas setelah keluar dari kurungan penjara
sementara yang sebelumnya, mereka berdua berdebat hebat tentang rasisme, Tony
yang bahkan dengan bangga bahwa dia bahkan memiliki sentimen tidak menghormati orang-orang kulit putih yang kurang ajar dan
bahkan mengklaim diri sebgai orang negro yang lebih negro dari Shirley yang bertingkah
seperti orang kulit putih kaya raya yang sombong.
Shirley yang tersinggung
meluapkan segala amarah dan kesepiannya pada tony bahwa dia amat sangat merasa
kacau karena berada pada ambivaliensi situasi bahwa dia tidak cukup putih untuk
menjadi putih, dan tidak cukup hitam untuk menjadi hitam. Dia berada pada
persimpangan jalan tentang siapa sebenarnya dirinya ini. Isu eksistensialisme
jean paul sartre kental di sini. Dan bagi saya ini adalah adegan paling
sedih dan getir di sepanjang film.
Di aksi panggung terakhir Shirley
tetap mendapatkan perlakuan rasis meskipun dia adalah bintang tamu di acara
terakhir itu, rasisme soal toliet, barang yang tidak boleh dipakai, semuanya
orang-orang kulit putih di film ini begitu amat sangat seolah jijik pada
orang-orang kulit hitam. Ini sama saja seperti dulu belanda memanggil indonesia
itu inlander bahkan sadisnya anjing saja dulu bisa masuk hotel tapi pribumi/
orang indonesi tidak diperbolehkan.
Akhirnya setelah negosiasi yang
begitu lama tentang shirley yang ingin makan malam dan larangan masuk bagi
orang kulit hitam ini tidak membuahkan hasil yang memuaskan, akhirnya Shirley
dan Tony memutuskan untuk berhenti bermain, lalu berkunjung sebentar untuk
sekedar santap malam dan melampiaskan semua perasaan dengan bermain musik
bersama musisi bar pinggir kota dan pulang menuju motelnya.
Ending film ini ditutup dengan
Shirley yang akhirnya membuka diri untuk lebih berbaur dengan semuanya membuka
peluang untuk melakukan langkah pertama dengan berani untuk keluar dari segala
zona nyaman dan perspektifnya yang buruk tentang dunia. Makan malam bersama keluarga
Tony.
Kutipan paling berkesan di
sepanjang film ini adalah “Cerdas saja tidak cukup, dibutuhkan
keberanian untuk menjangkau hati orang-orang” .
Rating film 5/5.
Comments
Post a Comment