Pengalaman Bisnis Franchise
Tidak sedikit orang yang mencoba mewujudkan impian mereka menjadi wirausahawan muda. Ada dua cara menjadi pengusaha,
membangun brand sendiri atau dengan cara bermitra (franchise) dengan brand yang sudah ada. Perbedaannya ialah Anda dapat menyesuaikan dan mengembangkan perusahaan sesuai keinginan Anda apabila Anda membangun brand Anda sendiri, namun tidak dengan franchise. Saya sendiri memulai bisnis, tepatnya usaha kuliner, dengan bermitra dengan brand yang sudah ada. Lantas apa sebenarnya kelebihan dari bermitra dengan brand yang sudah ada? Karena bersifat bukan rintisan (manajemen dan sistem standar operasional yang terjamin serta rencana bisnis dan strategi marketingnya sudah ada, sehingga peluang untuk sukses lebih besar jika dibandingkan dengan merintis bisnis dari nol), konsep bisnis kemitraan atau franchise tentunya dapat menjadi jalan pintas bagi kita para pebisnis pemula. Singkatnya, kita hanya menjual produk yang sudah ada
hanya saja atas nama kita sebagai co-owner.
Ditilik dari konteks franchise itu sendiri sebenarnya tidak ada masalah, masalah yang muncul sebenarnya adalah buah dari kecerobohan saya sendiri, dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan self actualization saya, yaitu dengan menjadi seorang pengusaha, saya ceroboh karena saya sedikit tergiur oleh kemudahan dan benefit yang ditawarkan oleh brand yang mengajak saya untuk bermitra, saya tidak memeriksa
terlebih dahulu legalitas hukum dari brand tersebut, bagaimana
manajemennya dikelola, dan bagaimana proses bisnis franchise itu
dikomunikasikan; adalah salah tiga dari hal-hal yang luput dari perhatian saya.
Sebagai franchisor, pemilik brand saya ternyata bersikap tidak profesional, mendadak setelah melihat cara saya
mengelola usaha saya sendiri, dimana saya mampu mengembalikan modal awal (BEP) hanya
dalam waktu satu bulan saja, mereka kalang kabut, tidak terima atau dengan
kata lain iri terhadap pencapaian saya.
Dari sana saya menyadari adanya ketidakberesan, bahwa perusahaan ini dikelola sebagian besar oleh orang-orang yang tidak amanah dan tidak jujur. Permasalahan tersebut kemudian berimbas buruk pada proses bisnis yang berlangsung, dari mulai order bahan baku yang tidak lengkap atau dilebihkan dengan disengaja, bahan baku yang diberikan tidak layak dijual (bau), harga bahan penunjang lainnya yang tiba-tiba dinaikkan sesuka hati mereka, bahkan kenaikannya dapat mencapai hingga lebih dari 100%, hingga aturan yang serba tiba-tiba/mendadak dihadirkan (perjanjian kemitraan). Saya sepenuhnya menyadari sekarang bahwa sejak awal ini memang tak lepas dari kesalahan saya sendiri dengan tidak memeriksa kredibilitas franchise ini dengan baik, objektif, dan menyeluruh; sungguh, tidak adanya hitam di atas putih merepotkan segala transaksi.
Saya yang memilih franchise agar tidak pusing memikirkan manajemen keuangan malah dibuat pusing oleh keributan yang franchisor saya buat disana-sini. Tidak selesai di bahan baku saja mereka mempersulit saya, mereka bahkan menekan karyawan saya dengan mengatakan bahwa "As a corporate they're
not taking advantages from me as a franchisee", well, I think it’s a big lie since they clearly taking many advantages from my operational cost. If they
really an entrepreneur, they should never ever did this to their franchisee. But they did, so it's clear now that they truly are no entrepreneur. Listen, yayasan dan bahkan panti asuhan sekalipun
looking for income beside looking for heaven's sake, it’s common sense, so no need to argue
about it. It's not someone else's fault if you're not being successful or if you are dissatisfied about something, so stop blaming others and stop making someone else's life horrible.
Akhirnya saya memutuskan untuk putus mitra (karena saya tidak mau mengikuti aturan yang mendadak, dibuat sembarangan/seenaknya/asal saja dan
tergesa-gesa yang akibatnya cenderung merugikan saya sebagai franchisee) dan segala asetnya akan dibeli lagi oleh mereka dengan harga yang minimal dan wajar menurut mereka. Minimal dan wajar? well, that sounds ridicoulus, isn't it? I
mean, personally, I think that, well, I'm not saying it's useless but c'mon, this brand is definitely not a profitable business since the franchisor run it wrong,
it’s just capitalism mixed with communism.
Ini pengalaman pertama saya sebagai pengusaha sekaligus juga pengalaman pertama yang well, for the first experience, it’s bad and good at the same time, tapi apakah dengan begitu saya menyesal menjadi pengusaha? Nope, I dont’ think so, cause I can start over and over again until I reach my success, cause if to be successful in life is that easy then hey, where's the fun in it? Karena sebagai seorang pengusaha yang masih hijau dan tidak punya banyak pengalaman toh saya berhasil membuktikan bahwa teori bisa beriringan dengan praktek bahkan mempercepat laju revenue (BEP/balik modal).
Pesan moral: Be careful
bila ingin memulai bisnis dengan cara bermitra (franchise), periksa
seluruh aspek fundamental suatu perusahaan, karena salah-salah Anda sendiri yang akan dirugikan. Edits by Hanifah Nur Azizah.
Comments
Post a Comment