Manusia Gutenberg

 

Manusia Gutenberg adalah istilah yang sering disematkan kepada orang-orang yang bertaut erat atau selalu berkelindan dengan produk cetak, khususnya buku, artinya orang-orang yang terbiasa menelaah dan membaca buku. Istilah itu merujuk pada penemu mesin cetak tipe moveable karya Johannes Gutenberg (1398 – 1468) istilah itu juga ditemukan oleh teoritikus media yang sekaligus juga sebagai inisiator penyebutan istilahnya, orang itu bernama, Marshal McLuhan. Ia mengemukakan istilah itu dalam bukunya yang berjudul The Gutenberg Galaxy : The Making of Typographic Man (1962).

Yang istimewa dari pribadi para Manusia Gutenberg ini ialah karakternya yang memiliki ke-khasan tersendiri pada identitasnya, yaitu rasional, berdaulat secara pemikiran, dan berpengetahuan luas serta berpengetahuan khusus. Mengapa demikian ? karena para Manusia Gutenberg ini melakukan pemodelan penyingkapan yang berbeda dengan orang-orang pada masa sebelumnya. “Apa pun bentuk teknologi baru temuan manusia, akan senantiasa mengubah kesadaran manusia yang menemukannya, perubahan tersebut berimbas pula pada masyarakat luas yang memanfaatkan teknologi tersebut” (McLuhan, 1962). Kutipan diatas tersebut adalah argumen yang melatarbelakangi model penyingkapan yang dialami oleh para generasi pegiat literasi. Artinya setiap teknologi yang dipakai pada tiap generasi memberikan dampak pengalaman dan implikasi masing-masing bagi pembacanya.

Apa kemudian yang dimaksud dengan model penyingkapan yang berbeda pada pembacaan buku cetak? Ialah merujuk pada alur arus  jejak literasi itu sendiri yang rujukannya atas pemaparan Mcluhan tentang empat epos sejarah manusia pada pemhaman teks, yang bergerak secara linear yakni : Budaya lisan ( Oral tribe culture ), Budaya naskah (Manuscript culture), Bimasakti Gutenberg (Galaxy Bimasakti), dan Era Elektronik (Electronic age) yang saling mengantikan yang satu atas yang lainnya, sedangkan menurut Umberto Eco “padahal tiap epos dari sejarah kebudayaan itu sendiri, memiliki caranya masing-masing dari tiap jenis literasinya untuk menampakan makna di dalamnya kepada manusia” (Vegetal and Mineral Memory: The Future Of Books, 2003). Budaya lisan menampakan maknanya melalui media penutur kepada pendengar, sedang budaya naskah menampakan maknanya dari huruf-huruf mati (scripta) menjadi huruf-huruf hidup (verba) yang di mediasi pula oleh manusia melalui kewajiban mereka meminjamkan suara mereka pada pembacaan naskah itu sendiri, kemudian Budaya bimasakti gutenberg ialah dengan menampakan dirinya pada aspek reflektifitas serta kontemplasi sunyi dengan pembacaan dalam hati (silent reading) oleh si pembaca dan yang terakhir Era elektronik yang prinsip penampakan penyingkapannya mirip dengan budaya lisan dan budaya naskah.

Bermodalkan pengertian-pengertian itu, maka cara penyingkapan Manusia Gutenberg ialah melalui reflektifitas dan kontemplasi sunyi dengan objeknya (Buku), yang akhirnya melahirkan individu-individu yang otonom sarat dengan individualisme. Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana bisa para Manusia Gutenberg ini lekat dengan nilai-nilai tersebut? Jawabannya adalah ditemukannya metode pencetakan buku dan kertas dari dunia islam kala itu dengan biaya produksi yang murah, mempercepat proses perubahan budaya dan kognisi dalam keseragaman. Dalam kata lain mereka terhindar dari bentuk-bentuk versi dan interpretasi tunggal dari teks seperti pada era budaya naskah.
Dan memang media cetak mendorong lebih kencang individualisme karena mereka sepenuhnya berdialog dengan buku.

Dialog dengan buku ini juga pernah dikatakan oleh R.A Kartini : “Buku adalah teman yang paling sunyi dan tidak menghakimi, namun meskipun demikian kita sama-sama tahu bahwa kita sedang saling telanjangi dan karakter Pavel Pasja di dalam novel karya Maxim Gorky yang berjudul Ibunda terjemahan Pramoedya A.T diterangkan bahwa pemuda itu berubah drastis karena buku “dari seorang penggerutu, pemabuk dan kasar menjadi lebih tenang, teratur, berpenampilan sederhana, menjadi lebih pintar dan berkuranglah raut muka masamnya”  (Ibunda, 2000) dan terakhir karakter Apu dari novel Aparajito : “Bagi sang Ibu Apu telah banyak berubah, Ia merindukan anaknya yang lucu dan menggemaskan kala kecil dulu,  dibandingkan dengan Apu yang sekarang yang bahkan sebelum berbicara ia selalu terlihat berpikir terlebih dahulu sebagai cermin dari kedewasaan. Begitulah tanggapan Ibunya terhadap Apu yang berjarak dengan realitas” (Googling Gutenberg, 2019).

Toh sekalipun demikian manfaat lain dari media cetak ini ialah tumbuhnya kritisisme yang menyebar luas ke berbagai belahan dunia,  menumbuhkan rasa nasionalisme berangkat dari bahasa yang dipakai (bahasa setempat) dalam buku cetak yang kita baca.

Meskipun konsekuensi negatif dari media cetak ini juga memberi ruang pada metode cara membaca dari awal hingga akhir bisa jadi tidak dilakukan lagi, karena kita bisa memilih bagian mana saja yang memang menarik minat kita untuk dibaca.

Maka kemudian siapapun mereka, Manusia Gutenberg itu memiliki nafas yang sama dengan orang-orang barat yang pribadinya terbuka terhadap dialog dan dialektika. Inilah barangkali kemudian yang diyakini menyebabkan mengapa orang-orang barat itu bersikap reflektif. Dengan kata lain di satu sisi berjarak dengan realitas dan di sisi lain dekat dengan realitas yang perlahan menyeruak mengetuk kesadaran atas otonomi dirinya sendiri untuk memilih sikap pada kenyataan hidupnya.

Meskipun demikian tak jarang Manusia Gutenberg ini juga merasa ditantang oleh zaman yang serba elektronik dengan segala macam informasi yang membeludak, membanjiri khazanah intelektual masa kini. Tak jarang sering kali orang-orang yang terbiasa membaca buku ketinggalan informasi oleh mereka yang mudah mengaksesnya melalui internet, bahkan bagi mereka orang-orang yang terlahir di era dua ribuan yang sering di sebut dengan sebutan Digital Native adalah orang-orang yang mudah sekali menjadi pintar dan berpengetahuan luas dengan cara yang cepat namun identik dengan suatu penyakit kembung informasi / infobesitas ( fikih informasi, 2019 ) bahkan digadang-gadang majunya teknologi berbanding lurus dengan ancaman matinya kepakaran, bahwa di zaman sekarang dasar keilmuan seseorang seolah – olah tidak lagi penting bila wacananya sudah dibawa ke media publik (medsos). Asal argumennya beraroma post-modernisme maka semua narasi bisa di justifikasi, yang ujung-ujungnya membawa masyarakat kita pada budaya political correctness ( Politik Pembenaran ).

 

Bahayakah ini ? menurut saya secara pribadi bahaya, bila anak muda tidak mendasarkan gagasannya pada dasar keilmuan apalagi mengingat medsos sebagai sarana kebebasan berpendapat, berekspresi, berbicara yang sering kali juga media bagi mereka yang senang “mendua / keterbelahan kepribadian” atau anonimitas akun dan karena rentannya relasi kuasa disana memudahkan orang untuk asbun atau asal bunyi yang sering kali, hal-hal seperti ini yang sering membawa kegaduhan, kendatipun demikian itulah konsekuensi dari demokratisasi kebebasan pers, suatu keniscayaan bahwa kebenaran tidak lagi dimonopoli pemerintah, oligarki, partai politik atau orang-orang tertentu. Meski tak jarang variabel-variabel yang disebutkan tadi juga justru memiliki peran memonopoli kebenaran.

Maka kemudian bagaimana cara agar kita terhindar dari monopoli post-truth/post-modernisme juga infobesitas yang setiap hari kita rongrongi, sebagai manusia yang saat ini lekat erat dengan gawai?  jawabannya bisa ditilik pada proses seni desimasi yang dicercap dari bahasa yunani “decem” atau sepuluh yang digagaskan oleh Umberto Eco (“From Internet to Gutenberg”, 1996), yaitu melakukan penyusutan dari sepuluh orang menjadi satu orang atau menyisihkan dari satu juta pencarian menjadi  999.999 dari hasil pencarian internet. Yang tujuannya untuk menghindari ketersesatan dan membedakan sumber informasi mana saja yang bermanfaat dan yang harus dihindari.

Mengapa hal itu menjadi urgensi yang begitu mendesak harus dilakukan oleh kita saat ini, alasannya tidak lain dan tidak bukan pada sumber data mengatakan bahwa Indonesia memiliki predikat sebagai pemilik media masa terbanyak di dunia ( fikih informasi, 2019 ), terutama media berbasis online. Bahkan pada tahun 2018 saja dari 43.000-an media online hanya 168 saja yang bersertifikasi Dewan Pers. Sementara hanya 300-an saja yang bersertifikasi Dewan Pers dari 2000-an media cetak.

Maka peran dari para Manusia Gutenberg yang basis dasar keilmuannya dapat dipertanggung jawabkan  ini harusnya mengeliat, atau berani muncul kepermukaan sebagai bentuk kontra skema terhadap monopoli kebenaran yang serba simpang siur dan tumpang tindih. Untuk berkontribusi menjadi alternatif baru yang lebih komprenhensif dibandingkan dengan para Digital Native  yang menjadi oposisi biner terhadap suatu kebenaran.


sumber :
Kurnia, Atep, 2019. Googling Gutenberg. Bandung. ITB Press.
Suara Muhammadiyah, 2019. Fikih Informasi. Yogyakarta. Penerbit Suara Muhammadiyah.
Keraf, Gorys, 1981. Argumentasi dan Narasi. Jakarta. Gramedia Pustaka.
Jurnal Salman, 2016. Skizofrenia Kultural : Keterbelahan Pandangan Dunia dan Inferioritas. Bandung. Jurnal Salman.
Gorki, Maxim, 2000. Ibunda. Jakarta. Kalyanamitra.
Kartini, R.A, 2007. Habis Gelap Terbitlah Terang; terjemahan Armijn Pane – cetakan 24. Jakarta. Balai Pustaka.


Comments

Popular posts from this blog

"Pemrograman sebagai Filsafat Bahasa Tingkat Tinggi: Perspektif Seorang Lulusan Sastra Inggris yang Terjun ke Dunia Teknologi"

Komputasi, Lingustik, dan Dasein ala Heidegger

Terbentur, terbentur kemudian terbentuk: the experiences of daily activites at UKRI