Signifikansi Psikolinguistik dan Functional Grammar terhadap asumsi dari suatu ujaran

 

Bagi saya mahasiswa semester lima mengetahui bahwa semester ini saya akan bertemu dengan mata kuliah psikolinguistik adalah kebahagian terbesar dalam karir universitas saya, setelah sebelumnya bertemu subjek filsafat bahasa yang sama tidak kalah membuat saya begitu bahagianya, karena merasa kenal dekat sekali dengan subjek itu. Maka respon pertama saya saat itu adalah saya sudah merasa “GR” karena saya sudah membayangkan akan ada nama Freud, Jung, Lacan, Gordon, Fromm dan Abraham maslow. Saya sudah membayangkan bahwa saya justru akan mendominasi lagi beberapa mata kuliah seperti pada semester lalu, saya membayangkan diri saya yang begitu lincah menjelaskan dan memaparkan relevansi dan koherensi antara teori freud tentang sesuatu dari masa lalu dan tingkah laku kita pada masa kini seperti apa yang sering dilakukan Freud, atau melakukan rekonstruksi ulang diri berdasarkan pengungkapan fakta atas diri kita sendiri berdasarkan arketipe-arketipe jung dan interpretasi berkenaan mitos dari sudut pandang Jung, atau mengungkap esensi naluriah yang mendorong seseorang melakukan sesuatu atas dasar kehendak untuk berkuasa ala Lacan dan melihat seseorang dengan menggolongkan apakah ia tergolong pada bagian lima kepribadian mana bila merujuk pada rumusan Gordon Alport, dan sisanya dekonstruksi ala Fromm atau pembedahan posisi seseorang berdasarkan argumen Maslow tentang hirarki .

Sayang sekali semua kesombongan yang hendak saya tunjukan ternyata gagal terjadi karena mata kuliah psikolinguistik tidak menitik-beratkan kajiannya pada tingkah laku manusia dalam pendekatan sebagaimana para psikolog bekerja melainkan berdasarkan pada ujarannya saja (psiko & linguistik ), dan lebih pada proses mental yang terjadi pada saat menerima, memahami dan memproduksi ujaran, berfokus pada kajian itu saja. akan tetapi topik atau kajian psikolinguistik ini ternyata lebih luas lagi dari yang saya sangka, bahwa rupanya pemahaman saya terhadap subjek-subjek mata kuliah sebelumnya ditantang kembali, apa saja itu ? fonologi, morfologi, sintaksis, gramatikal serta semantik kemudian aspek lain seperti landasan-landasan biologis dan neurologis yang juga disadur dalam mata kuliah psikolingustik ini adalah salah dua dari aspek lain yang baru saya temui tidak secara sambil lalu (sekedar sebagai bacaan waktu luang). Semakin sering saya baca dan semakin dalam saya mencoba memahami mata-kuliah psikolinguistik semakin sadar saya mengenai suatu hal, bahwa segala sesuatu memang terkoneksi satu sama lain juga bahwa melalui ujaran kita bisa memeriksa gudang leksikonnya, cara berpikirnya, dan pengalaman apa yang barangkali terjadi sehingga kemudian mengapa seseorang berujar ( implikatur berdasarkan fitur-fitur semantik) disadari atau tidak bisa berdampak pada realitas eksistensi orang lain.

Functional grammar dilain pihak juga sebegitu berdampak pada saya sebagai seorang pelajar, awalnya saya kira functional grammar tidak jauh berbeda dengan subjek-subjek grammar sebelumnya. Faktanya berbeda, banyak aspek yang secara kasat mata terdengar atau terlihat sama tapi in some ways mereka nampak berbeda, terkhusus pada fungsi dan istilah-istilahnya sendiri yang jelas-jelas terkesan lebih filosofis sekaligus praktis dalam menganalisis sesuatu, pengelompokan-pengelompokan kategori dalam rangka untuk mengungkapkan logika serta makna dari suatu kajian analisis teks melalui klausa. Bahkan di buku yang saya baca tentang functional grammar itu sendiri Halliday berujar bahwa bahasa adalah sumber dari suatu proses pembuatan makna dalam suatu konteks di dalam teks. Bahkan bagi para ahli tata bahasa suatu teks bisa dikategorikan sebagai objek yang bersifat specimen atau artefak ( berdasarkan kajian seluruh sistem linguistik ).


Sebenarnya, entah itu functional grammar atau psikolinguistik yang disasar adalah penggalian makna yang timbul dari suatu teks/ujaran yang kemudian, secara spontan, sesaat setelah kita mepersepsinya, memahaminya, dan kemudian memproduksikan apa yang kita fikirkan terhadap makna yang terungkap atas suatu teks tertentu, kita lantas coba menyampaikannya pada orang lain. Dan titik tolak dari cara bagaimana terhindarnya kita atas prasangka orang lain dari salah paham penginterpretasian argumen kita ialah functional grammar dan psikolinguistik itu sendiri sebagai instrumen dari seperangkat alat yang kita gunakan untuk memproses cara kita membedah argumen kita dalam menyampaikan mengapa ia (teks/ujaran) bermakna (tersirat) demikian .

Penjabaran dari urutan metode pembedahan makna itu kemudian menjadi  reasoning kita yang kuat untuk melandasi argumen kita. karena dikupas secara konprenhensif.  tujuannya hanya satu yaitu mencari nilai objektifitas mengenai suatu teks/pikiran di dalamnya agar tidak meluas kemana-mana (multiinterpretasi). Berangkat dari pengertian itu kemudian saya jadi memahami meski tidak bisa dikatakan seratus persen yakin bahwa saya benar, namun pointnya adalah ini bisa menjadi landasan bagi para linguis terhindar dari kejahatan verbal linguistik atau agenda politik kaum post-modernisme melalui political correctness mereka. Salah satu contoh kasus ialah di kanada mengenai undang-undang bil-c 16, yang ditentang oleh jordan peterson berdasarkan kontra skemanya terhadap skema pihak post-modernisme pada kasus pronouns bagi non-binary gender (they, them, zee, etc) as singular noun to them.  Ia (jordan peterson) berargumen bahwa ia tidak berkeberatan mengatakan itu pada non-binary, ia merasa keberatan  bila kemudian itu dilegislasi oleh pemerintah sehingga mencederai haknya atas free speech as a free will priveledge . Masalahnya kemudian tidak berhenti disana tapi ia menyampaikan mengapa undag-undang itu sebaiknya tidak dilegalkan, karena akan menjadi sebab awal segala hal yang bersifat political correctness akan dilegislasi dengan mudah, artinya baginya tidak akan ada lagi keteraturan yang selaras bila kekacauan berfikir mendominasi aspek-aspek hukum yang diterapkan sebagai aturan-aturan baru bagi masyarakat. mengapa kemudian political correctness disebut sebagai logical fallacy ialah karena bila kita melakukan radikalisasi dengan cara mendekonstruksi tiap gagasan dari tiap aspek point pihak post-modernisme semua  itu mengarah pada ideologi, yaitu politik identitas. Politik identitas ini mengarah pada tribelisme (aspek filosofis yang mendasarinya) yang bisa mengancam dan membawa manusia pada kepunahan (Hitler, Stalin, etc).
 

Melihat itu sekiranya pikiran saya menjadi terbuka bahwa sebenarnya peran linguis itu amat sangat signifikan posisinya untuk lebih berkontribusi ditengah masyarakat yang kian hari kian mudah disetir oleh wacana yang sering kali memecah belah hanya karena sifat dari media hari ini yang real-time. Dan kurangnya masyarakat untuk lebih awas dan lebih kritis atas apa yang ia konsumsi (wacana) setiap hari. Lebih dari itu secara praktis bahkan teori-teori dan alat-alat dari instrumen psikoling dan functional grammar bila diperhatikan dan diintegrasi dasar-dasarnya secara serius kita bahkan bisa menjembatani kekacauan berpikir untuk jadi kurang lebih sedikit lurus atau mungkin lurus selurus-lurusnya dengan mengungkap makna mengapa teks/ujaran bermakna demikian. dan yang paling menarik ialah sekilas psikolinguistik itu seolah dekat dengan phenemology dan functional grammar dengan hermeneutika. well, kudos!

Comments

  1. Menurut saya artikel yg sudah ditulis sangat baik dan runut. Anda sudah memahami perbedaan kajian psikoanalisis demgan psikolinguistik yg berfokus pada kajian ujaran bahasanya dan juga functional grammar yg menyerupai hermeneutika. Saya sepakat bahwa benar adanya kedua kajian linguistik tersebut sangat berperan dalam membentuk kesadaran literasi pembaca dalam meluruskan wacana yg muncul di tengah-tengah masyarakat dan membantu dalam menginterpretasi lebih kritis dalam menerima pesan dari wacana yg dihadirkan media.
    Ada sedikit koreksi dalam penulisan nama, seperti Halliday anda lupa dikapitalkan hurufnya dan beberapa awal kalimat mohon dikapitalkan. Anda menulis karena di awal kalimat seharusnya langsung saja sbg konjungsi jangan diakhiri titik.
    Untuk kontennya tidak ada koreksi karena menurut saya sudah baik.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih banyak Pak, atas kritik dan koreksinya it means a lot Pak..

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

"Pemrograman sebagai Filsafat Bahasa Tingkat Tinggi: Perspektif Seorang Lulusan Sastra Inggris yang Terjun ke Dunia Teknologi"

Komputasi, Lingustik, dan Dasein ala Heidegger

Terbentur, terbentur kemudian terbentuk: the experiences of daily activites at UKRI