Laki-laki Ideal adalah Mereka yang Kompeten secara General

Masyarakat indonesia saat ini sudah begitu mahfum dengan kondisi teknologi, informasi serta gaya hidup yang juga sudah berubah. Sejauh apa kemudian perubahan itu? Sejauh hingga orang-orang mulai tidak menghargai dan memandang bahwa sebuah proses adalah keniscayaan yang harus dilalui oleh seseorang ketika kita ingin meraih keberhasilan. Keberhasilan seperti apa? Apapun itu. Yang sudah pasti baik, baik yang seperti apa? Baik secara sosial dan baik secara individual.

Individu saat ini yang dijejali segala macam informasi dari kemajuan teknologi sering kali salah kaprah memaknai fenomena ini. Mereka tak jarang mentah-mentah menerima apapun yang mereka terima tanpa mengkritisi terlebih dahulu informasi-informasi yang mereka terima. Salah satu jenis informasinya adalah flexing. Atau pamer harta kekayaan. Lantas kemudian apa pengaruh buruk informasi ini pada individu-individu yang ada saat ini? Ialah tak lain, cara mereka memandang hidup.

Kehidupan sejatinya tidak bisa dipandang mudah, terkhusus bagi mereka yang memiliki kebiasaan-kebiasaan malas. Individu tidak hanya pada anak muda tapi juga menyasar orang tua. Adakalanya orang-orang yang sudah berumur pun seringkali memandang dunia dengan cara yang sempit dan picik, licik, dan opertunis. Mereka adalah jenis-jenis dari orang tua yang cara berpikirnya tidak terbuka atau berpikiran sempit. Seperti apa kemudian ciri-ciri prilaku mereka dalam memandang dunia dengan informasi flexing dan fenomena sultan jadi-jadian? Adalah dengan mendambakan harta-harta mereka (para sultan jadi-jadian) untuk mereka.

Mereka adalah orang-orang yang bermental ningrat feodal menjunjung tradisi demi bisa hidup enak. Mereka adalah orang-orang yang rakus dan tamak, gila harta dan pemuja dunia. Membenarkan apapun yang mereka perbuat dengan dalil “yang terbaik” dan “sederajat”. Orang-orang seperti itu adalah orang-orang yang memalukan, dan jenis dari orang yang berbau sampah. Lantas pertanyaannya sekarang, mengapa mereka harus sekolah tinggi-tinggi ya, bahkan punya gelar di sisi agama yang cukup tinggi? Untuk apa ya? Untuk pamer dan gengsi. Waduh ternyata tidak menjamin ya sekolah tinggi, berpangkat dan bersahaja di sisi agama membuat mereka jadi bijak.

Celakanya adalah orang-orang seperti ini seringkali jadi pemimpin tiran. Jelas mereka tidak bijak karena materialistis. Apa itu materialistis? Adalah mereka orang-orang yang memiliki kecenderungan menimbun harta banyak-banyak dengan cara apapun, orientasi hidup mereka hanya pada duniawi, tidak mampu milihat value dari sesuatu, mereka biasanya adalah orang-orang dengan kepribadian tempramental, pendendam, sering berprasangka buruk, sok tahu, berasumsi, suka merasa jadi korban, manipulatif, sering menyalahkan orang lain dan bahkan memfitnah orang tanpa adanya bukti. Mereka berdalih bahwa apa yang mereka katakan adalah realistis.

Apa sih realistis? Realistis adalah suatu istilah yang bila ditarik secara singkat dalam kehidupan artinya menitik beratkan sesuatu pada kenyataan hidup saat ini. Bila kenyataan hidup saat ini adalah masa-masa sulit maka kita harus menyesuaikan cara berpikir dengan masa-masa sulit tersebut.

Berarti tidak salah dong, mereka orang-orang materialistis itu? Tidak, hanya saja tidak bijak! Dan bukan ciri orang yang dewasa, juga bukan ciri dari orang yang bisa dijadikan panutan. Mengapa ? karena cara-cara mereka adalah cara-cara orang malas dengan cara berpikir kriminal, radikal dan dangkal. Mereka lebih menyukai cara-cara mudah sekalipun itu mengorbankan perasaan orang lain, yang mereka pedulikan hanya dirinya saja. Mereka adalah orang-orang yang ketika bermimpi hanya sekedar mengatakan “Saya ingin ini.. dan itu..” tanpa ada aksi, kemudian ketika gagal berkata “kamu harusnya seperti ini.. dan seperti itu..” mereka adalah orang-orang yang paling menyedihkan dan paling sempit cara berpikirnya. Padahal cara berpikir kekanak-kanakan seperti itu biasanya ada hanya sampai tingkat pendidikan sekolah dasar, ironisnya sekarang makin menjamur pada generasi tua. Apa mungkin karena sudah tua? Akal sehat mereka juga sudah karatan dan juga sudah tua, we don’t know but it could be, right ?

Well at least, Saya bersyukur saya dididik oleh ( almarhum & almarhumah ) kedua orang tua saya dengan cara mendidik yang cukup baik, mereka menanamkan saya jiwa sosial yang tinggi, menanamkan ajaran-ajaran yang harus lebih menitik beratkan kerja keras, dan ketekunan dalam belajar dengan baik, tidak bermalas-malasan dan bermanja-manja. Mendidik saya untuk tidak punya mental patriarki ( laki-laki harus dilayani) dan mental miskin (pemalas, serakah yang gemar memimpikan harta) bahkan mereka selalu mendukung apapun yang saya lakukan ketika itu baik (pendidikan, hobby, memilih teman, dll). Orang tua saya mendidik saya untuk menjadi laki-laki yang kompeten secara general. Kompeten artinya memiliki kuasa dan kemampuan. Mampu melakukan apapun yang seharusnya dilakukan laki-laki dan berkuasa dalam arti percaya pada diri sendiri dan berdaulat secara mental dan akal pada apa yang disebut bijak, bukan kuasa dalam arti menjadi tiran sering memaksakan kehendak-kehendak pribadi demi keuntungan pribadi.

Comments

Popular posts from this blog

"Pemrograman sebagai Filsafat Bahasa Tingkat Tinggi: Perspektif Seorang Lulusan Sastra Inggris yang Terjun ke Dunia Teknologi"

Komputasi, Lingustik, dan Dasein ala Heidegger

Terbentur, terbentur kemudian terbentuk: the experiences of daily activites at UKRI