Saya dan Pragmatik
Selama proses pengumpulan teori, argumen, metode dan cara analisis data untuk penelitian ada pertanyaan yang mendadak hadir di benak saya. Pertanyaan itu adalah “kapan sebenarnya bahasa menjadi perhatian utuh saya?” saya rasa dan mungkin barangkali semenjak seorang teman merekomendasikan satu buku yang berjudul “Dunia Sophie”, beliau mengatakan bahwa sepertinya jenis buku itu akan cocok dibaca saya. Buku itu buku pengantar filsafat, bukan buku yang sulit dibaca karena bagi saya buku itu, adalah jenis buku filsafat yang mudah dimengerti dan menyenangkan untuk dibaca. Kendatipun demikian, buku itu juga menyuguhkan sesuatu yang khas filsafat, yaitu cara berpikir dekonstruksi, kritis, nakal dan cenderung frontal, merongrong pemahaman kita terhadap segala sesuatu yang pernah kita ketahui dan yakini sebagai suatu hal yang sudah tidak perlu lagi dipertanyakan. Sampai sana, sebenarnya isi dari buku filsafat itu tidak terlalu istimewa, namun buku itu menjadi penting sebagai jalan awal pada gerbang kesadaran terhadap nilai-nilai moral kita tentang baik dan buruk, benar dan tidak, hitam dan putih untuk mulai diperdebatkan dan dicari dasar-dasar rasionalitas yang melatarbelakangi kearifan dari nilai-nilai itu. Lantas apa sebenarnya yang menyebabkan seseorang yang berhasil menyelesaikan buku itu, kemudian berubah sikap dan cara berpikirnya? Jawabannya adalah bahasa.
Bahasa rupanya menjadi faktor yang menuntun seseorang pada pengetahuan, pengetahuan menyebabkan seseorang menjadi lebih banyak berpikir, berpikir kemudian menyebabkan seseorang untuk merefleksi diri dan tenggelam dalam kontemplasi, perenungan-perenungan akal dan batin yang berperang menelanjangi diri untuk berintrospeksi dan menginsafi diri bahwa sering kali kita keliru dengan banyak hal. Hasil dari pergulatan batin menguap pada permukaan eksistensial, secara fenomenologis ia terlempar pada kenyataan realitas baru yang sering kali dipostulatkan oleh descartes sebagai Raison d'etre “Cogito ergo sum” atau “aku berpikir maka aku ada”nya. Namun kemudian kesadaran akan diri sendiri ini tidak lantas selesai setelah “Illuminating moment” ini terjadi, justru kesadaran itu mendorong kita untuk menjadi asli, dan keaslian seseorang mampu terlihat dari keaslian bahasanya yang merepresentasi pikirannya. Seringkali mereka yang sadar betul pada pengertian bahwa bahasa adalah wali pikirannya cenderung menjadi lebih hati-hati, banyak pertimbangan, dan lebih banyak merepresi dorongan kuat reaksioner-isasi diri pada peristiwa tertentu dengan tujuan menghindari ketaksaan (ambiguitas) ujarannya dalam berkomunikasi, agar tidak disalah pahami. Karena bagi mereka apa yang sering kali dikatakan Kantian (istilah penganut paham Immanuel Kant) bahwa segala tindak tutur dan perilaku kita sebaiknya didasarkan pada kebermanfaatan bersama (utilitarianisme) dalam bentuk akal budi murni kategorikalnya, artinya perenungan yang matang ketika menghadapi sesuatu untuk memecahkan masalah bersama adalah bagian dari cara hidup dan bahasa sebagai alat komunikasi yang memiliki dinamika spektrumnya sendiri dengan cara yang revolusioner menjadi salah satu yang membantu menjembatani cara bagaimana menyelesaikan masalah melalui komunikasi. Bagaimana kemudian teks atau bahasa dalam suatu ujaran mampu memberikan manfaat bagi orang banyak? Kita bisa lihat contohnya pada ujaran Socrates “Hidup yang tidak pernah dipertanyakan adalah hidup yang tidak layak dijalani!”, mengimplikasikan apa ujaran ini? Sindiran, mengindikasikan apa ini? Perintah perenungan. Bila bahasa bisa sedemikian kuratif pada kesadaran seseorang, terlebih pada mental seseorang, maka kemudian bahasa sudah sangat harus diperhitungkan.
Sisi mana kemudian dari bahasa yang harus diperhatikan dilihat dari aspek kepraktisan manfaatnya bagi kehidupan sehari-hari? Jawabannya adalah sisi Pragmatisme. Pragmatik menurut Yule (1992) adalah ilmu yang mengkaji makna suatu tuturan, yang melampaui makna literalnya. Kemudian ilmu yang mengkaji bagaimana bahasa digunakan oleh penuturnya untuk tujuan tertentu (Leech;1989) bahkan, sang pionir filsuf bahasa J.L. Austin mengatakan bahwa bahasa adalah alat ujar untuk melakukan sesuatu (Speech Acts). Yang mencetuskan mengenai tiga bagian daya dari suatu ujaran, lokusi, ilokusi, perlokusi. Berkat salah satu kontribusi filsuf bahasa ini lah dengan teori tindak tuturnya bahasa kemudian ditandai menjadi permulaan awal untuk cara baru memandang bahasa sebagai suatu tindakan dibandingkan sebagai suatu sistem untuk menggambarkan realitas. Sudah hampir 4 bulan saya membaca buku-buku Pragmatik, dan terkagum-kagum pada ilmu ini ketika saya membaca karya milik Austin yang berjudul How to do thing with words.
Sebelum membaca karya revolusioner itu saya membaca karya-karya milik Yule, Leech, Heidegger, F.Budi Hardiman, Diane Blackmore, Saussure, dan beberapa jurnal saja, semua buku itu menyadur atau merujuk Austin dalam tulisan-tulisannya. Saya kemudian memutuskan untuk mulai membaca karya asli dari penggagas teori tindak tutur ini dan yang terjadi adalah takjub sekaligus merenung, begitu mendalam dan komprehensif sekali beliau merumuskan gagasan-gagasannya mengenai suatu ujaran. Bayangkan dalam beberapa buku sebelumnya yang saya baca kata “Performative utterances” sudah biasa saya dengar atau lihat, dan sangat sederhana penjelasan para ahli setelah Austin menerangkan mengenai “Performative utterances” dengan pengertian suatu kalimat yang menunjukan suatu tindakan. Contoh: I declare you as husband and wife. Dengan penguraian struktur seperti ini { S + [Vp] + O }. Namun apa yang dilakukan Austin pada mulanya tidak sesederhana itu, Ia membahas Performative Utterances yang terklasifikasi sebagai suatu jenis ujaran asertif dengan attitude seperti ini:
Performative in nuance that psychologically / spiritually describes something adequate. As an audible sign as claim a fact. But in what conditions are performative utterances valid? When we meet with the appropriate circumstances, all these aspects are broken if we find infelicities.
How we determined felicities as a correct guarantee:
A.1 There must be exist an accepted conventional procedure having a certain conventional effect, that procedure to include the uttering of certain words by certain persons in certain circumstances, and further,
A.2 The particular persons and circumstances in a given case must be appropriate for the invocation of the particular procedure invoked.
B.1 The procedure must be executed by all participants both correctly
B.2 completely
T.1 Where, as often, the procedure is designed for use by person having certain thoughts or feelings, or for the inauguration of certain consequential conduct on the part of any participant, then a person participating in and so invoking the procedure must in fact have those thoughts or feelings, and the participants must intend so to conduct themselves, and further,
T.2 Must actually conduct themselves subsequently.
Yang kemudian saya salutkan kemudian adalah bagaimana penerus-penerusnya membuat apa yang dituliskan oleh Austin menjadi semakin mengerucut dan mudah untuk dipahami. Bayangkan saja banyak sekali diksi yang saya rasa, mungkin pada zamannya, diksi-diksi yang dipilih oleh austin pada tulisannya sudah cukup mewakili apa yang umumnya dipahami oleh pemahaman banyak orang. Semisal diksi Null dan Void, unhappy, misfire, dan lain-lain, yang sebenarnya itu merepresentasi kosong, keliru, buntu, dan lain-lain. Maka peran searle dan penerusnya sangat besar menyesuaikan dan memperbaharui istilah-istilah itu menjadi lebih modern dan lebih mudah dimengerti. Mereka benar-benar orang yang serius terhadap bahasa dan fungsinya dalam kehidupan sehari-hari.
That’s how i’m falling in love with pragmatics.
Comments
Post a Comment