Jati diri dan yang keliru dari millenials sebagai generasi post-modernisme yang gagal memaknai filsafat stoicisme sebagai jalan ninja di kehidupan modern

    Sebenarnya kebanyakan Post-modernis yang menganut ajaran stoicism yang ramai empat tahun belakangan ini keliru mengartikan titik atau core dari ajaran Zeno itu sendiri. Saya paham mengapa ajaran Zeno bisa menyimpang karena interpretasi memang subjektif ia secara dinamis mengembang menuju arah singularitas pemahaman yang bias berdasarkan pengetahuan dan pengalaman seseorang. yang seringkali dipahami oleh millenials (post-modernism) saat ini soal stoicism justru sering kali dijadikan alat justifikasi untuk tak berani memenuhi segala tanggung jawabnya sebagai seorang manusia untuk mandiri dan kompeten. alih-alih berjuang, mereka malah cenderung mengatakan "ah, enjoy.." dan melanjutkan kehidupan no-lifenya, merasa exclusive, yang padahal bisa jadi perasaan itu berangkat dari sense of inferiority, terlepas dari apapun yang sering mereka labeli dengan istilah "PTSD" (post traumatic syndrom disorder). 

    Zeno mengatakan bahwa core dari ajarannya (stoics) ialah virtuous mind, yang mana dalam istilah psikologi industri, orang dengan kepribadian "virtuous mind" adalah industrious person. orang yang selalu melakukan segala hal dengan perhatian penuh to put things together, well-prepared, and always tend to have plan B, C, D and so on, if something bad happen. dengan kata lain, penganut ajaran Zeno yang sebenarnya adalah orang-orang yang selain mampu menerima kenyataan hidup namun mampu juga menyesuaikan kehendak-kehendaknya pada idealnya seseorang harus "menjadi apa" dalam tataran apa yang sering kali John Locke gagaskan tentang kontrak sosial. jadi, stoic person sebenarnya adalah orang-orang yang sepenuhnya sadar terhadap eksistensinya. kesadaran terhadap eksistensi inilah atau keinsyafan penuh pada kemengadaan seseoranglah ia pantas disebut virtuous mind dalam stoic.

Kesadaran mengada atau being yang sering disebut heidegger dan Husserl membawa seseorang pada tujuan, dan tujuan ini tidak akan datang bila tidak ada eksistensi yang mendahului esensi (sartre) yang berupa cogito ergo sumnya Descartes. tujuan itu adalah will to power (Nietzche) seseorang terhadap Sonum Bonum (Aristotles) atau keinginan luhur yang mulia untuk menjadi seseorang yang kompeten dan unggul agar bermanfaat (utilitarianisme) bagi lingkungannya (Carl Rogers & J. Bentham). semua pemahaman ini seharusnya menjadi antidote atau kontras bagi yang menerjemahkan stocicism yang mengartikannya dengan gegabah sebagai bentuk berpasrah diri dan melakukan berjubel-jubel pembenaran. bahkan, millenials yang menyalah artikan filsafat stoicism dan mengkampanyekan goal-goal  semacam eliminate all feelings and pleasure from our life, without eliminating negative emotions such as anxiety, fear, shame, vanity, and anger and enjoying life's pleasure as long as they do not control your life, bisa menjadi orang yang misantropis juga misoginistik. itulah kenapa para neo stoicism x post modernism ketika bertemu orang yang secara mental positif, mereka merasa insecure dan overwhelmed dan ketika bertemu orang yang secara mental negatif cenderung menjadi narsistik.

jadi, keliru sebenarnya memaknai stocism sebagai filsafat hidup bila millenials masih sering berperan sebagai korban yang berpasrah diri terhadap tekanan-tekanan dalam masa-masa penemuan jati diri. so be brave and face the world with eyes wide open.



Comments

Popular posts from this blog

"Pemrograman sebagai Filsafat Bahasa Tingkat Tinggi: Perspektif Seorang Lulusan Sastra Inggris yang Terjun ke Dunia Teknologi"

Komputasi, Lingustik, dan Dasein ala Heidegger

Terbentur, terbentur kemudian terbentuk: the experiences of daily activites at UKRI