Komputasi, Lingustik, dan Dasein ala Heidegger

Selang beberapa bulan setelah yudisium, Saya diundang pada suatu acara meeting online untuk membahas berkenaan akreditasi jurusan. Selama berlangsungnya meeting online, Ibu Sri selaku ketua jurusan menanyai kabar dari masing-masing peserta meeting. Ibu Sri kemudian menanyai kabar saya, dan bertanya "Rez, Kamu apa kabar? Kerja dimana sekarang?", pertanyaan Ibu Sri waktu itu hanya saya jawab singkat, semacam "Jadi Software Quallity Assurance, Bu.. di PT. Arkamaya ", Ibu yang kurang familiar dengan istilah itu balik bertanya berkenaan jenis pekerjaan macam apa itu, dan saya terangkan sesingkat mungkin bahwa itu jenis pekerjaan yang berhubungan dengan pengujian aplikasi berbasis web atau mobile, tugasnya mencari defect/cacat pada functionalitas fungsi-fungsi yang menjadi kebutuhan standar user(client). Tidak berhenti disana, Ibu Sri bertanya pada saya tentang bagaimana bisa seseorang yang jurusan kuliahnnya saat itu adalah sastra inggris dengan penjurusan linguistik, bisa tiba-tiba bekerja dibidang IT, khususnya yang berhubungan dengan koding?

Pertanyaan itulah yang membawa saya untuk menuliskan sedikit korelasi yang belakangan inilah baru saya bisa koneksikan. Relevansi dari korelasi ini mungkin akan terkesan semacam pembenaran khas argumen kaum post-truth, karena bisa jadi opini ini keliru, berkenaan bagaimana bisa ilmu-ilmu disastra inggris mampu membawa saya ke dunia industri teknologi(lagi).

Pada awal karir universitas sebagai mahasiswa sastra inggris, core dari apa yang diajarkan dikampus sudah pasti secara umum adalah bahasa, bahasa inggris khususnya. Para dosen yang mengajarkan bahasa inggris memulai dari morfologi, fonologi, hingga syntaxis dan teori struktur penyusunan kalimat dalam bahasa inggris, filsafat bahasa, hingga Analisis wacana. Namun, ternyata yang tidak pernah disangka, hampir dari seluruh mata kuliah yang pernah saya pelajari memberi manfaat besar pada saya, khususnya ketika saya bertemu dengan koding pemrograman di tempat dimana saya bekerja saat ini. Bagian mana kemudian yang memberi manfaat besar secara tidak langsung pada pemahaman saya saat membaca susunan struktur dari syntasis koding pemrograman, sebagai seorang SQA? yang pertama adalah Introduction to Lingusitics, Morphosyntax, Philosphy of Language, Functional Grammar, dan Pragmatics.

Dalam kajian linguistik bahasa dikaji semendalam mungkin dari mulai bentuk, bunyi, makna hingga fungsinya, semisal kata "Versatile" memiliki bentuk morfologi "ˈvərsədl " dengan pelafalan bunyi "ferseuteul" bermakna "serbaguna" dalam bahasa indonesia, berfungsi untuk menerangkan makna kata soal kebermanfaatan. Dalam pemrograman, dilihat dari sudut pandang morfologi dan morfo-sintaks, aktifitas pengkodean/coding juga dilakukan melalui penyusunan struktur huruf, kata, hingga menjadi kalimat dalam suatu bahasa pemrograman untuk melakukan perintah pada komputer, contohnya dalam bahasa Javascript "Console.log();" adalah bentuk dari morfologinya, bermakna sebagai suatu representasi dari suatu fungsi perintah pada bahasa javacript untuk menampung log aktifitas pada console. Dari sudut pandang filosofi kalimat perintah "console.log" itu sendiri bisa dipertanyakan, mengapa perintah itu harus berbentuk demikian? jawabannya, itu karena sudah menjadi konsensus juga standar ketika mendefinisikan suatu kalimat perintah tertentu dalam bahasa pemrograman javascript. Sedangkan dari sudut pandang Functional Grammar kalimat "console.log('Hello World!"); terdiri dari dua bagian, yaitu "Theme" dan "Rheme" .

Theme merujuk pada subjek yang melakukan kegiatan, dan Rheme merujuk pada keterangan dari kegiatan tersebut, dan secara pragmatis kalimat itu memerintahkan komputer untuk mencetak teks/string dengan deskripsi "Hello World". Jika kemudian ada pertanyaan filosofis mengapa harus demikian, kita akan kembali pada apa yang pernah diucapkan oleh bapak linguistik modern, yaitu Ferdinand De'Saussure bahwa "Language is arbitrer", bisa saja semuanya dianalisis secara mendalam menggunakan tesis synchronous dan Diachronous, namun postulat "Language is arbitrer" sudah cukup bisa menjawab pertanyaan tadi. Sebenarnya, apa yang dibahas panjang lebar diatas bisa saja dengan mudah kita sebut dengan "Konsep" karena kata konsep mewadahi "apa", "bagaimana", dan "mengapa". Bahasa pemrograman pada tataran struktur pembangunan kalimatnya secara sepintas bisa saja oleh para linguis dikategorikan pada terminologi-termonilogi seperti semantis, pragmatis, dan semiotis untuk membaca dan menganalisa makna denotatif, konotatif, dan simboliknya. Sejauh ini itulah barangkali jawaban dari pertanyaan Ibu Sri, serta pertnyaan-pertanyaan saya sendiri yang sadar bahwa saya terlempar untuk "mengada (dasein)" dan mulai bisa memahami secara perlahan bentuk-bentuk kodingan dengan lebih sadar, serta mawas diri ketika berhadapan dengan struktur bahasa pemrograman dengan berbekal konsep dan pengetahuan linguistik dari kampus.

Comments

Popular posts from this blog

"Pemrograman sebagai Filsafat Bahasa Tingkat Tinggi: Perspektif Seorang Lulusan Sastra Inggris yang Terjun ke Dunia Teknologi"

Terbentur, terbentur kemudian terbentuk: the experiences of daily activites at UKRI